Asal Mula “Pertenunan Astiti” ialah berawal dari Ni Wayan Astiti yang basicnya merupakan tukang tenun. Seseorang yang membuat kain dengan menggunakan alat tenun, yang mana prosesnya melibatkan pengaturan benang secara horizontal (pakan) dan vertikal (pakan gulung) sehingga membentuk pola atau desain yang diinginkan. Kain yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti pakaian, taplak meja, kain kanvas, dan lain sebagainya. Selain dirinya sebagai penenun, ia bersama suami juga melakukan pekerjaan sebagai tukang pengepul, untuk mengumpulkan hasil tenun dari desa Banjar Kerokapal, Gelgel, Kabupaten Klungkung.
Produksi tenun masih berlangsung secara massal di setiap rumah tangga di desa Gelgel, menghasilkan tenun songket yang pertama kali diperkenalkan dari zaman kerajaan Gelgel pada tahun 1986. Kemudian, Pertenunan Astiti mulai berdiri dengan menambah alat ATBM ( Alat tenun bukan mesin ) yang dapat menghasilkan kain endek. Nyoman Sudira, yang saat itu masih merupakan pegawai Pemerintah Daerah (Pemda), menyerahkan produksi tenun kepada istrinya. Seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa usaha yang semakin menjanjikan ini harus memiliki izin resmi.
Selain itu, Pertenunan Astiti sudah memenuhi salah satu persyaratan dengan memiliki lima ATBM di rumah produksi mereka dan beberapa alat tenun cagcag di sekitar tempat tinggalnya. Pada masa itu, khususnya dalam pemasaran kain songket, kain tersebut masih dianggap sebagai kain yang sakral dan harus dalam kondisi baru setiap kali digunakan, terutama pada acara pernikahan, di mana menggunakan kain sewaan dianggap tidak pantas. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Klungkung, tetapi juga di Ubud dan kota-kota lain di Bali. Apalagi dalam setiap hasil karya seni kain songket di Klungkung, memiliki perbedaan yang signifikan, antara satu desa dan desa lainnya. Seperti ciri khas songket Gelgel lebih spesifik dan dikenal dengan benang-benang warna emas dan perak yang melimpah, sehingga berat kain mereka bisa mencapai 2 kg. Namun, seiring dengan perkembangan mode, para penenun juga semakin berkreasi, selain motif geometris yang tertua, juga dikombinasikan dengan menambah motif bunga, fauna, figurative dan decoratif misalnya, tanpa harus menggeser identitas dari songket Gelgel itu sendiri.
Berbicara tentang proses pewarnaan, dalam penenunan terdapat dua jenis benang dasar yang digunakan, yaitu benang sutra dan benang katun. Ada pula yang menggunakan campuran dari kedua jenis benang tersebut. Di desa Gelgel, warna dasar yang dominan digunakan untuk pembuatan kain songket adalah biru dan hitam. Adapun untuk motifnya, warna perak dan emas sering dikombinasikan, namun pada tahap ini dapat disesuaikan dengan permintaan pelanggan.
Berbeda dengan proses mendesain, di mana Pertenunan Astiti juga bekerjasama dengan ISI (Institut Seni Indonesia) untuk membuat platform digital dalam mendesain, agar lebih mudah diterapkan. Sehingga banyak orang tertarik untuk melakukan inovasi dengan menggunakan kain endek dan tidak terdapat jumlah minimal dalam pemesanan. Namun, penggunaan alat tenun, terutama tenun cagcag, tidaklah mudah. Nyoman Sudira menganjurkan agar para penenun mulai melatih anak muda, dan dari pihak Pertenunan Astiti akan membayar para pelatih tersebut. Namun, ada beberapa anak muda yang pada awalnya bersemangat untuk mencoba, namun akhirnya menyerah dan berhenti. Hal ini karena proses penenunan cagcag membutuhkan waktu yang lebih lama, berbeda dengan penenunan ATBM yang hanya membutuhkan waktu dua minggu saja karena prosesnya lebih mudah dan singkat. Meskipun demikian, semangat untuk mencari bibit-bibit baru dalam melestarikan warisan nenek moyang harus tetap ada dan dipelihara.
Terakhir, Nyoman Sudira mengungkapkan keyakinannya bahwa kain tenun akan selalu dibutuhkan. Seperti keterkaitannya sebagai sarana dalam upacara agama di Bali, dukungan pemerintah yang semakin memperhatikan produksi kain tenun juga memberikan harapan besar bagi pengembangan UMKM ini – apalagi tingginya penyerapan tenaga kerja dan tidak adanya diskriminasi usia dalam industri ini dan dengan kombinasi kain tenun yang lebih modern, tanpa harus menghilangkan nilai dan pakem asli kain tenun, produk ini mampu merespon kebutuhan masyarakat yang beragam. “Dengan demikian, saya yakin warisan budaya ini akan terus dipertahankan dan dilestarikan untuk generasi yang akan datang”.