SETIAP kali mau menulis tentang peristiwa reformasi 1998 dan melakukan semacam refleksi selalu muncul kritik dalam pikiran dan memunculkan semacam gugatan. Apa hebatnya reformasi ketika derita rakyat jelata terus terjadi? Apa hebatnya reformasi ketika demokrasi masih terus dinodai? Apa hebatnya reformasi ketika hak asasi terus dikebiri dan pelanggarnya tak pernah diadili? Apa hebatnya reformasi ketika korupsi terus mewarmai negeri? Lalu, layakah reformasi dijadikan pijakan untuk refleksi?
Setidaknya pertanyaan – pertanyaan itu menggelitik nalar dan nurani ini. Namun momentum setiap tahun selalu menggugah ribuan bahkan mungkin jutaan anak negeri untuk melakukan semacam kontemplasi.
Pertanyaan dan gugatan diatas bagi aktivis yang masih merawat nurani dan akal sehatnya tak ada jawaban yang memuaskan dari setiap rezim, dari rezim Habibie sampai Jokowi. Tak ubahnya hanya berganti rezim. Berganti topeng tapi tubuh politiknya masih sama. Ya, meminjam perspektif Erving Goffman dalam bukunya The Presentational of Self in Everyday Life (1990), pergantian topeng itu semacam dramaturgi di arena politik yang seringkali bersifat teateris, seolah berubah, seolah pro demokrasi, seolah pro rakyat.
Maka tidak heran kemudian pada rezim terakhir ini banyak yang menilai reformasi benar-benar ‘ditopengi’, dikorupsi dan dikhianati. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 2020 yang baru saja disahkan menjadi Undang-Undang, Rancangan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang baru disahkan menjadi Undang-undang, Rancangan Undang-Undang Cipta kerja (Omnibus Law), kebijakan menaikan iuran BPJS ditengah derita rakyat, adalah sederet regulasi penghianatan pada wong cilik, lapisan sosial paling menderita di republik ini. Semua regulasi itu lebih berpihak pada oligarki ekonomi dan oligarki politik. Ini bertentangan dengan spirit reformasi untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat.
22 tahun lalu hari ini adalah hari pendudukan gedung DPR/MPR, sebelumnya berbulan-bulan konsolidasi gagasan, aksi demonstrasi di kampus hingga di jalanan. Peluh, darah, airmata bahkan nyawa telah dikorbankan. Hingga kemudian pada 21 Mei 1998 Soeharto legowo turun dari tahta kekuasaan. Lalu, apa sesungguhnya gagasan reformasi?
Gagasan Substantif Reformasi
Gagasan reformasi hadir sesungguhnya bukan untuk memberi karpet merah bagi aktivisnya untuk mendapat madu kekuasaan. Apalagi ada yang merasa sebagai generasi yang tidak diinginkan, karena tidak mendapatkan madu kekuasaan atau karena merasa diabaikan. Bukan itu, tapi rakyat jelata harus dimuliakan.
Soal kekuasaan di era ini tak ada yang gratis karena demokrasi pasar, demokrasi citra yang berbiaya mahal sengaja dibuat rezim untuk mereka yang dinilai memiliki kapasitas dan ‘isi tas’ yang tak terbatas, dan itu artinya memberi karpet merah pada intervensi besar pemilik modal (oligark ekonomi).
Diskursus gagasan reformasi yang dilakukan berbulan-bulan pada waktu itu secara substantif sesungguhnya untuk menghadirkan demokrasi, menegakkan hak asasi, menjunjung tinggi nalar konstitusi, menghadirkan kesejahteraan rakyat, menegakkan keadilan, dan memberantas korupsi.
Demokrasi menjadi sangat penting menjadi gagasan utama reformasi karena problem utama rezim orde baru saat itu adalah otoriterianisme berkedok demokrasi pancasila. Inilah pintu yang menumbuh suburkan praktek korupsi dan pelanggaran HAM saat itu. Disaat yang sama problem kemiskinan dan ketidakadilan juga semakin meluas.
Banyak pemikir yang menjadi rujukan aktivis tahun 90-an tentang pentingnya menghadirkan demokrasi. Dari ‘pemikir kiri’ (Marxian), ‘pemikir kanan’ (berbasis agama), ‘pemikir nasionalis’ (Soekarnois), hingga pemikir moderat pluralis seperti Robert Dahl. Dalam buku Democracy and Its Critics (Robert Dahl, 1989) yang di era Soeharto buku ini banyak menjadi bahan diskursus mahasiswa FISIP mengingatkan bahwa sebuah sistem sudah bisa dikatakan demokratis sepenuhnya jika ada “effective participation by citizens” dan “voting equality among citizens”. Dua kriteria ini saja tidak terlihat pada praktik politik di masa orde baru karena yang terjadi adalah pseudo democracy, demokrasi semu.
Diskursus gagasan demokrasi itu beberapa bulan sebelum jatuhnya Soeharto menjadi santapan utama bagi para aktivis. Karenanya agenda demokratisasi menjadi agenda utama gerakan reformasi disamping agenda mewujudkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi.
Apa Kabar Reformasi
Pertanyaan sederhana tetapi pokok dan rasional untuk refleksi reformasi adalah apa kabar gagasan itu hari ini?
Standar dasar untuk membaca demokrasi di suatu negara adalah dengan melihat Indeks Demokrasinya. Dalam lima tahun terakhir ini Indeks Demokrasi Indonesia cenderung memburuk, bahkan laporan terakhir The Economist Intelligence Unit (2019) yang menjadi berita media masa pada Januari 2020 menyebutkan indikator kebebasan sipil di Indonesia hanya mendapat nilai 5,5 dan secara umum Indeks Demokrasi Indonesia hanya mencapai angka 6,48 dalam skala 0 – 10. Kalau menggunakan skala nilai akademik di universitas itu sama artinya mendapat nilai C.Nilai yang mendekati tidak lulus dan tidak memenuhi standar nilai ketuntasan studi mahasiswa yang baik.
Apa kabar kesejahteraan rakyat? Ini diantaranya bisa dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, jumlah pengangguran. Dalam lima tahun tetakhir angka pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan melambat diangka 5 persen padahal janji politiknya 7 persen. Bahkan di kwartal I tahun 2020 ini angka pertumbuhan ekonomi Indonesia makin memburuk diangka 2,97 persen secara year on year (yoy), jauh dari target. Sebab Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menargetkan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 akan tertahan di kisaran 4,5 persen sampai 4,6 persen karena virus corona. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih buruk dari Vietnam yang angka pertumbuhan ekonominya di kwartal I 2020 sebesar 3,8 persen.
Soal angka kemiskinan dan pengangguran dipastikan tahun ini semakin memburuk, bukan hanya karena Covid-19 tetapi juga memang tata kelola ekonomi pemerintah saat ini bermasalah. Berdasarkan data dari Kementerian Pembangunan Perencanaan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas, 2020) memproyeksikan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia akan bertambah 4,22 juta orang pada 2020. Sementara jumlah penduduk miskin pada akhir 2020 diperkirakan akan bertambah 2 juta orang dibandingkan data September 2019. Itu data resmi, faktanya lebih dari itu. Karena soal data pemerintah masih menyimpan masalah serius.
Dari sisi hak asasi manusia? Dalam lima tahun terakhir sampai saat ini tidak ada kemajuan. Kasus pelanggaran HAM yang lama tidak ada satupun yang dituntaskan, dari kasus kerusuhan Mei 1998 sampai kasus Munir. Bahkan kasus baru bermunculan. Pemerintah saat ini terlihat mengingkari janji penegakan HAM sebagaimana yang dicantumkan dalam Program Nawacita.
Catatan miring HAM Ini diantaranya bisa dilihat dari kasus-kasus baru, misalnya kasus penembakan dua mahasiswa Universitas Haluuleo Kendari saat demonstrasi reformasi dikorupsi 26 September 2019 lalu. Bisa juga dicermati dari Kriminalisasi yang dialami Dandhy Dwi Laksono, jurnalis yang kerap kali mengungkap pelanggaran HAM di Papua maupun pelanggaran di sektor lingkungan. Ananda Badudu, aktivis yang menggalang dana saat marak aksi demonstrasi bertema “Reformasi Dikorupsi”, yang sempat ditangkap polisi. Atau kasus penangkapan Ravio Patra, penangkapan aktivis aksi kamisan, dan lainnya.
Korupsi? Juga masih parah. Kasus korupsi milyaran hingga triliunan rupiah masih terjadi. Dari kasus E-KTP, Jiwasraya yang nilainya triliunan rupiah hingga kasus Nurhadi dan Harun Masiku yang nilainya milyaran rupiah.
Data-data diatas tentu meyakinkan siapapun bahwa benar reformasi telah dikorupsi dan dikhianati.
Lalu, Dimana Aktivis 98?
Pertanyaanya kemudian, diamana aktivis 98 yang dulu lantang berteriak demokrasi, berteriak bela rakyat, berteriak bela hak asasi, berteriak bela konstitusi?!
Gerakan Reformasi 1998 adalah gerakan sosial transformatif yang tidak memiliki kepemimpinan tunggal. Simpul-simpul rakyat, komunitas, entitas bergerak memiliki pemimpin pemimpin kelompoknya sendiri. Ratusan ribu mahasiswa waktu itu dipimpin secara sporadis oleh ribuan pemimpin kelompok aksi mahasiswa yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia. Ini diantaranya yang membuat gerakan mahasiswa 1998 tidak bisa dikebiri oleh rezim orde baru, berbeda dengan gerakan mahasiswa 1974, 1978, dan gerakan mahasiswa 1980an yang memiliki kepemimpinan menonjol yang kemudian mudah diakhiri oleh rezim dengan penangkapan atau pembubaran melalui peristiwa rusuh.
Gerakan reformasi 1998 milik sejarah, generasi yang diinginkan sejarah pada masanya, ia telah membuat sejarah penting mengakhiri otoriterianisme dan membuka angin demokrasi. Meski saat ini telah dikorupsi dan dikhianati. Jadi aktivis 98 bukan generasi yang tidak diinginkan tetapi generasi yang diinginkan oleh sejarah, bukan oleh kekuasaan.
Dimana mereka sekarang? Mereka berpencar di setiap ruang kontribusi, menjadi profesional, menjadi dokter, menjadi akademisi, menjadi guru, menjadi guru besar, menjadi aktivis NGO, menjadi jurnalis, intelektual publik, buruh, wiraswasta, pedagang, nelayan, petani, ibu rumah tangga, dan sebagian kecil menjadi politisi. Maka jangan heran jika ada gerakan buruh yang luar biasa, ada petani dan nelayan bergerak, ada intelektual publik yang kritis, ada dokter dan profesional yang berkinerja hebat, tapi juga ada emak-emak yang revolusioner. Jangan heran juga meluasnya solidaritas sosial ditengah pandemi covid-19 karena spirit aktivismenya. Watak kritis dan aktivisme mereka belum hilang ditelan zaman.
Tetapi memang harap dicatat ada aktivis 98 yang menjadi anggota DPR baik dengan keringat sendiri maupun dibiayai oligarki. Baik di DPRD maupun DPRRI.
Mereka berjuang seperti anak macan sendirian ditengah ribuan harimau oligarki. Tidak berdaya. Misalnya ketika ada 9 kali kenaikan harga BBM sejak 2014 sampai saat ini tidak ada yang berteriak lantang menolak, meski dulu waktu jadi aktivis mahasiswa mengaku berteriak paling lantang menolak kenaikan BBM. Sejumlah undang-undang yang di produksi rezim ini yang tidak pro rakyat sayup-sayup terdengar ada yang menolak tetapi ujung-ujungnya hanya menjadi stempel pemerintah. Tidak berdaya, atau mungkin juga terjerat kenikmatan lalu berdalih tidak berdaya. Tetapi apapun itu, mereka yang di DPR sudah berikhtiar memilih jalan politik.
Jadi pertanyaan dimana aktivis 98 saat ini? jawabanya mereka berada dimana-mana, dibanyak area kontribusi. Tetapi karena penghianatan elit yang memproduksi regulasi yang memanjakan oligarki, politik berbiaya mahal, mereka aktivis 98 sangat sulit dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk berada di lapisan elit strategis negeri ini. Sementara, anak-anak oligarki dengan mudah menikmati kekuasaan tanpa visi peradaban yang progresif tetapi lebih terlihat untuk menumpuk kekayaan.
Jadi ada benarnya jika ada yang mengatakan arah reformasi kacau memang karena yang menggagas reformasi tak pernah diberi ruang artikulatif untuk memimpin negeri ini.
Jika Demokrasi terus di korupsi dan Reformasi terus dikhianati (wajah gelap reformasi), maka jangan heran jika pada waktunya anak-anak macan dari berbagai penjuru area di negeri ini menjadi harimau buas pada waktunya untuk menghadirkan episode baru republik ini menuju sejatinya cita-cita republik. Cita-cita proklamasi 1945. Apakah kini waktunya? Wallahua’lam bisshowab.
Ubedilah Badrun
Analis Sosial Politik UNJ, pendiri FKSMJ yang menjadi salah satu motor penting gerakan reformasi 1998.