KEBERADAAN Undang-Undang Kepailitan dinilai menjadi kunci penting dalam naiknya posisi Indonesia dalam peringkat kemudahan dalam berbisnis dari World Bank karena banyaknya penyelesaian utang piutang yang dilakukan melalui restrukturisasi maupun kepailitan.
Demikian disampaikan Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Dr. Jimmy Simanjuntak, S.H, M.H pada webinar internasional bertema Covid-19 Temporary Measures to Prevent the Increasing Insolvency and PKPU Petitions in Indonesia.
Dalam webinar dengan moderator Jennifer B Tumbuan dan Syahdan Hutabarat. itu, hadir pula pembicara lain yakni Menkumham Yasonna H Laoly, sebagai keynote speaker, Ketua Dewan Sertifikasi AKPI Dr. Ricardo Simanjuntak, LL.M, Andrew Chan (Partner of Allen & Gledhill LLP Singapore), serta Scott Atkins (Chair, Partner & Head of Risk Advisory of Norton Rose Fulbright Australia).
Pada keterangan pers, Jumat (3/9), Jimmy mengatakan UU Kepailitan sejarahnya bermula dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 yang diterbitkan pada masa krisis ekonomi 1998.
UU Kapailitan merupakan jalan keluar bagi para perusahaan yang terlilit utang agar dapat menyelesaikan segala persoalan utang piutangnya melalui kepailitan dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
Terakhir, kemudian diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan).
“Belajar dari kondisi krisis ekonomi 1998 serta perkembangannya hingga saat ini, Undang-Undang Kepailitan seharusnya justru menjadi alat bagi para kreditor dan debitor untuk memperoleh solusi dari masalah utang piutang di antara mereka dalam masa pandemi Covid-19 ini,” tutur Jimmy.
Namun demikian, pemerintah membuat rencana untuk menangguhkan keberlakuan UU Kepailitan (moratorium) untuk jangka waktu tertentu guna menyelamatkan para pengusaha dari ancaman kepailitan selama pandemi Covid-19. Pihaknya setuju pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menerbitkan suatu peraturan atau keadaan khusus terkait mekanisme kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam masa pandemi Covid-19. Pasalnya hal itu guna menekan banyaknya permohonan kepailitan maupun penundaan kewajiban pembayaran utang yang seringkali membuahkan hasil yang kurang baik.
“Namun demikian, menangguhkan keberlakuan Undang-Undang Kepailitan secara keseluruhan adalah hal tidak tepat,” ucap Jimmy.
“Seperti dinyatakan oleh Bapak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada acara Webinar Internasional ini, bahwa Indonesia perlu mengambil langkah-langkah yang rasional guna menyikapi keadaan pandemi covid-19 ini khususnya terkait kepailitan,” jelas Jimmy. Sementara itu, Andrew Chan, praktisi kepailitan dari Singapura, menjelaskan pemerintahnya memberlakukan pertama, pembebasan sementara dari pelaksanaan kewajiban cicilan dengan kondisi dan persyaratan tertentu.
“Kedua, pembatasan proses kepailitan dan insolvensi tertentu dengan menaikkkan batasan nilai pengajuan untuk pengajuan permohonan kepailitan/pembayaran kembali,” jelas Chan.
Adapun pembicara dari Australia, Scott Atkins, menjelaskan bahwa Australia menaikkan jumlah yang dapat ditagihkan oleh pihak dalam bentuk somasi dan juga jangka waktu penyelesaiannya dan pembebasan sementara para direktur dari transaksi yang sudah insolven.
Selain itu, INSOL juga mengeluarkan pedoman yang dapat diterapkan oleh masing-masing negara dalam undang-undangnya yaitu The Principles for Effective Insolvency and Creditor/Debtor Regimes dan The Statement of Principles for a Global Approach to Multi-Creditor Workouts II.
“Karena itu, pemerintah sewajarnya juga mempertimbangkan hal-hal itu sebagai perbandingan atas tindakan yang selayaknya diambil guna menekan banyaknya kepailitan yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 ini sebelum memberlakukan moratorium atau penangguhan penuh terhadap UU Kepailitan Indonesia yang dapat mengakibatkan kerugian bagi semua pihak,” pungkas Jimmy. (RO/OL-09)
Sumber : Media Network/MediaIndonesia