MANTRA sakti menyongsong tahun 2023 ialah ekonomi digital. Pengembangan ekonomi digital, menjadi tujuan utama dari proses transformasi ekonomi Indonesia untuk mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19. Pengembangan ekonomi digital tidak lagi terhindarkan karena telah terjadi pergeseran perilaku masyarakat yang meninggalkan pola berbelanja konvensional, dan berubah lebih banyak menggunakan platform digital.
Masyarakat kini tidak lagi asing dengan berbagai perkembangan yang terjadi di sektor teknologi finansial (tekfin), perdagangan elektronik (e-commerce), bahkan kehadiran metaverse. Menurut data Google Temasek & Bain, valuasi ekonomi digital Indonesia bertumbuh 49% di tahun 2021 menjadi US$70 miliar dan diprediksi menjadi US$146 miliar di tahun 2025.
Pertumbuhan ekonomi digital yang melesat pesat ini, tidak terlepas dari pertumbuhan e-commerce yang mencapai 52%, dan layanan transportasi dan antarmakanan yang bertumbuh 36% di tahun 2021. Saat ini, ekonomi digital di Indonesia disebut-sebut tertinggi di Asia Tenggara, di mana nilai ekonominya di tahun 2021 tercatat sekitar US$ 70 miliar, dan diperkirakan mampu mencapai US$146 miliar pada tahun 2025. Nilai ekonomi digital Indonesia sebesar US$70 miliar tersebut, berkontribusi 6% terhadap PDB Indonesia, dan diyakini nilainya akan terus meningkat, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi digital di Indonesia.
Kendala
Bagi para pelaku ekonomi Indonesia, terutama UMKM, perkembangan ekonomi digital yang luar biasa pesat sudah tentu menjadi tantangan sekaligus peluang tersendiri. Berdasarkan Statistik e-commerce BPS Juni 2021, dari 8,2 juta unit usaha yang disurvei termasuk di dalamnya pelaku UMKM, hanya 29% yang telah mengintegrasikan usahanya ke dalam e-commerce.
Menurut data, per Agustus 2022, sebanyak 20,24 juta UMKM telah masuk ekosistem digitalisasi. Sementara itu, pada tahun 2023, pemerintah menargetkan minimal ada 30 juta UMKM yang masuk ke marketplace atau platform digital. Sejauh mana target yang ditetapkan ini akan berhasil diwujudkan, tentu waktulah yang akan menjawabnya.Harus diakui, bahwa mengharapkan UMKM dapat berkiprah di pasar digital bukanlah hal yang mudah.
Sejumlah kendala yang menghambat sebagai berikut. Pertama, keterbatasan skill dan kemampuan literasi digital pelaku UMKM. Lebih dari sekadar mengembangkan pemasaran online untuk memperluas pangsa pasar, yang dimaksud dengan digitalisasi UMKM sesungguhnya tidak hanya menyangkut aspek pemasaran. Namun, perlu pula memperhatikan aspek operasional usaha, seperti pengelolaan keuangan, pengadaan barang, dan manajemen pesanan.Kemampuan literasi digital pelaku UMKM dibutuhkan agar sebagai sebuah sistem usaha, UMKM tidak lagi gagap ketika harus bersaing dan masuk dalam ekosistem digital yang menjadi bagian dari Revolusi Industri 4.0. Di Indonesia, keterampilan serta tingkat adopsi teknologi masih menjadi tantangan utama dalam digitalisasi ekonomi UMKM.
Kedua, dari sisi pembiayaan, hingga saat ini masih banyak pelaku UMKM yang belum mampu menyusun laporan pembukuan dan administrasi keuangan yang benar-benar tertata secara digital. Akuntabilitas UMKM seringkali masih rendah sehingga ketika berhadapan dengan pihak perbankan untuk mendapatkan pinjaman modal, mereka posisinya lemah.
Tanpa adanya dukungan ekosistem digital dari hulu hingga hilir dan berkelanjutan, peluang UMKM untuk lebih berdaya saing dan lebih maju niscaya akan menemui hambatan. Pengalaman di berbagai negara, digitalisasi pembukuan keuangan umumnya membawa dampak yang besar bagi perkembangan UMKM. Berdasarkan studi di sejumlah negara, ekosistem pembukuan digital membuat proses credit scoring 80% lebih cepat, meningkatkan kecepatan pengajuan pinjaman hingga 30%, dan meningkatkan approval pinjaman sebesar 47%.
Ketiga, dari segi produksi, keinginan untuk memperluas pasar ekspor berbasis digital seringkali terkendala pada kemampuan pelaku UMKM memenuhi standardisasi produk yang diinginkan. Meski, harus diakui potensi ekonomi digital yang prospektif untuk diraih sangat besar, mencapai Rp5.400 triliun hingga tahun 2030. Namun, ketika kemampuan pelaku UMKM untuk memenuhi standar produk yang diinginkan pasar masih terbatas, maka peluang itu niscaya akan lewat begitu saja.
Keempat, faktor lain yang menghambat aktivitas digital ekonomi, terutama bagi pelaku UMKM adalah regulasi dan prosedur dalam bisnis lintas batas (cross border business) yang rumit, mahal dan time-consuming. Ini termasuk tarif bea cukai dan aktivitas logistik penerimaan dan pengiriman barang yang membebani.
Seperti diketahui, untuk menjangkau pasar produk UMKM yang lebih luas itu, tentu membutuhkan aktivitas pengiriman dan penerimaan barang melalui jasa logistik yang biayanya tidak murah. Laporan Logistics Performance Index (LPI) Bank Dunia menyebutkan, kinerja sektor logistik Indonesia masih belum memuaskan. Posisi Indonesia masih tertinggal dari Thailand, Vietnam, dan Malaysia sehingga ongkos produksi dari pengiriman barang yang dihasilkan pelaku UMKM umumnya masih kalah bersaing bila dibandingkan dengan negara lain.
Berdasarkan hasil OECD Competition Assessment Reviews: Logistics Sector in Indonesia 2021, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia dilaporkan masih menetapkan biaya pengiriman yang relatif tinggi, yang pada gilirannya mengarah pada biaya impor dan ekspor yang membebani pelaku UMKM.
Mindset
Bagi pelaku UMKM yang masih gagap beradaptasi dengan proses transformasi digital, tentu tidak mudah mendorong mereka masuk dalam ekonomi digital. Hingga saat ini, harus diakui masih sedikitnya unit usaha yang bergabung ke dalam pasar digital karena merasa lebih nyaman berjualan secara langsung, selain tidak tertarik berjualan online. Kurangnya pengetahuan, atau keahlian menjadi alasan tersediri yang menghambat bergabungnya unit usaha ke dalam pasar digital.
Untuk mendorong agar UMKM siap masuk ke pasar digital, yang dibutuhkan tentu jalan keluar untuk mengatasi berbagai kendala yang ada. Pemerintah dan dunia usaha tidak bisa jalan sendiri-sendiri dalam mendukung UMKM yang menjadi penopang perekonomian nasional tersebut.
Dalam rangka memastikan peran UMKM agar berkontribusi signifikan terhadap kebangkitan perekonomian masyarakat, yang dibutuhkan selain pengembangan literasi digital yang memadai, yang tak kalah penting adalah bagaimana mengubah mindset para pelaku UMKM dalam menyikapi perkembangan zaman.Mustahil meminta pelaku UMKM memanfaatkan peluang yang tersedia di pasar digital, ketika mereka masih cemas (worried) dalam penggunaan teknologi informasi dan mengalami kesenjangan digital (digital devide), dalam kepemilikan teknologi informasi yang memadai. Sepanjang dua hal ini masih menjadi masalah, jangan harap UMKM di Indonesia mampu beradaptasi dalam pasar digital
(Sumber: Media Indonesia)