Pembatasan perjalanan dan larangan ke tempat rekreasi dampak Covid-19 menumbangkan bisnis pariwisata, termasuk di Bali. Beberapa perusahaan gulung tikar.
Hancur” Kata itu terlontar dari Rizky Eka Valdano, pemilik PT Republik Maritim Indonesia. Biro perjalanannya, Maritim Travel, di tebing jurang dihantam pandemi corona. Maritim Travel berkantor pusat di Tangerang Selatan dan melayani perjalanan ke destinasi wisata nasional, seperti Bali dan Yogyakarta. Perusahaan ini juga menyediakan jasa wisata internasional, khususnya di Asia Tenggara. Menurut pria yang akrab disapa Reval itu, operasional perusahaannya sudah hampir sepuluh lebih berhenti total. “Terakhir melayani wisata Maret. Sejak pemerintah mengumumkan pasien positif pertama corona, banyak yang cancel dan reschedule,” kata Reval.
Pengumuman yang dimaksud Reval yaitu oleh Presiden Joko Widodo pada Maret tentang pasien positif corona 01 dan 02. Keduanya wanita. Satu berusia 64 tahun, lainnya berusia 31 tahun. Mereka tertular virus yang pertama kali merebak pada Desember 2019 di Wuhan, Hubei, Cina itu setelah berkontak dengan warga negara Jepang. Sejak pengumuman itu, pasien positif corona di Indonesia terus bertambah total kasusnya menjadi 713.365 kasus per minggu Minggu (27/12). Sebanyak 583.676 orang di antaranya telah dinyatakan sembuh (81.82%) dan 21.237 orang meninggal dunia (2.98%), sementara sisanya masih menjalani perawatan.
Selain itu, ada 69.325 orang berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan 0 orang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) yang kini masih dirawat.
Reval menuturkan, alasan utama konsumen membatalkan perjalanan wisata melalui perusahaannya adalah menghindari tertular corona dan belum ada jaminan kapan pandemi mereda. Alasan Reval tak mengoperasikan Maritim Travel, yakni langkah pemerintah membatasi pergerakan manusia, kebijakan sejumlah daerah menutup destinasi wisata dan sejumlah moda transportasi membatasi operasional. “Percuma buka kalau gak ada tujuan.” Ia pun mengaku penghentian operasional demi turut mempercepat landainya penyebaran corona.
Menurut dokumen presentasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kepada Komisi X DPR pada April lalu melalui rapat teleconference, 34 provinsi telah menutup destinasi wisatanya sejak pertengahan Maret.
Sejumlah maskapai pun membatasi penerbangannya, seperti Lion Air yang telah memangkas rute perjalanan dari Denpasar, Manado, Surabaya, Jakarta, dan Batam ke Tiongkok pada 26 Maret. Bahkan Air Asia menutup semua rute penerbangan domestiknya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 April menyatakan, kunjungan wisatawan mancanegara melalui jalur udara menurun dari 838.978 orang pada Desember 2019 menjadi 796.934 pada Januari 2020. Merosot lagi menjadi 558.892 pada Februari.
Hal ini selaras dengan penurunan penerbangan internasional dari 1,72 juta orang pada Desember 2019 menjadi 1,68 juta orang pada Januari 2020. Kemudian jatuh lagi menjadi 1,13 juta orang pada Februari 2020. Penerbangan domestik juga mengalami penurunan dari 6,29 juta orang pada Januari 2020 menjadi 5,79 juta pada Februari 2020 atau berkurang 8,08%.
Dalam kondisi normal Reval, melayani rata-rata 10 perjalanan wisata setiap hari. Kini ia mesti rela kehilangan sekitar 300 perjalanan dengan total kerugian berkisar Rp 200 juta per bulan. Ia pun mesti merumahkan sementara seluruh pegawai. “Setengah konsumen gue ke Bali,” kata Reval.
Pariwisata Bali Tersuruk
Bali tercatat menutup semua tempat wisata dan hiburan demi mencegah penyebaran virus bernama resmi Covid-19. Keputusan ini berdasarkan Surat Edaran Pemprov Bali per 20 Maret. Delapan Pemerintah Kabupaten atau Kota di Bali telah lebih dulu menutup destinasi wisatanya mulai 18 Maret walaupun kini disejumlah kabupaten dibuka untuk domestik dengan memperketat protokol kesehatan. Larangan negara-negara dunia kepada penduduknya untuk melakukan perjalanan juga membuat
pariwisata di Bali merosot. Penurunan mulai dirasakan mulai Februari. Wakil Gubernur Bali Tjokorda menyatakan kawasan wisata favorit seperti Nusa Dua dan Kuta telah sepi. Imbasnya okupansi hotel di Bali turun 60 – 80 %. Padahal, menurut Tjokroda, penurunan okupansi hotel di provinsi yang dipimpinnya pada tahun sebelumnya tak lebih dari 18%. Berdasarkan data BPS Bali, hotel berbintang di seluruh kelas mengalami penyusutan okupansi dari 59,29% pada Januari menjadi 45,98% pada Februari. Penurunan okupansi paling tajam pada hotel bintang satu, yakni dari 62,06% pada Januari menjadi 29,32% pada Februari.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haryadi Sukamdani menaksir kerugian perhotelan di Bali akibat pandemi corona mencapai Rp 1 triliun. I Gede Ricky Sukarta, Ketua Bali Villa Association, menyatakan okupansi vila juga menurun sejak Februari. Okupansi vila, menurut Ricky, kini rata-rata sebesar 30 %. Tak seperti sebelum corona melanda, yakni 80 % meskipun bukan musim liburan. Tjokorda dan Ricky sama-sama menyatakan penurunan okupansi hotel dan vila di Bali karena sepi turis dari Tiongkok. Sebab, selama ini turis Cina menjadi yang paling ramai mengunjungi Bali.
Catatan kantor Imigrasi Bali menyebutkan jumlah wisatawan asal Tiongkok menurun drastis pada Februari. Hanya 4.820 wisatawan. Berbeda dengan Januari yang tercatat lebih dari 113 ribu orang. Penurunan ini diakibatkan kebijakan pemerintah pusat melarang perjalanan dari dan ke Tiongkok per 5 Februari. Sementara data BPS Bali mencatat keseluruhan wisatawan asing datang ke Pulau Dewata sebanyak 363.937 orang pada Februari. Jumlah itu menyusut dari Januari yang sebesar 528.883 orang pada Januari, minus 45 %. Jika dibandingkan dengan Februari tahun sebelumnya, kunjungan wisatawan asing ke Bali menurun 20 %. Bandara I Gusti Ngurah Rai yang menjadi pintu masuk satu-satunya jalur udara turis asing langsung ke Bali, berdasarkan data BPS, mengalami penurunan kedatangan dari 526.823 orang pada Januari menjadi 358.254 orang pada Februari.
Bagus, pemilik event organizer dan penyedia jasa pemandu wisata bernama Bakta Tour yang berdomisili di Denpasar, mengaku bisnisnya terpukul. Seperti Maritim Travel, usahanya berhenti beroperasi sepenuhnya lantaran tak ada pesanan. Padahal ia baru menjalankan bisnisnya pada Januari tahun ini, setelah menjadi pegawai di salah satu biro wisata dan sempat menjadi pegawai hotel. “Sebelum corona bisa 200 orang sebulan,” kata Bagus.
Dampaknya, Bagus mesti merumahkan sementara tiga karyawannya dan kehilangan pendapatan lebih kurang Rp 50 juta dalam sebulan. Kini ia mengaku menganggur sepenuhnya. Saat kami menelepon ia mengaku sedang menemani anaknya bermain, kegiatan yang bisa dilakukannya saat ini. “Karena saya juga berusaha mematuhi anjuran pemerintah untuk tetap di rumah,” ujarnya.
Pria yang sudah bekerja di bidang jasa pariwisata selama lebih kurang 10 tahun ini mengatakan penurunan wisatawan lebih parah dibandingkan saat Bali mengalami peristiwa Bom Bali I dan II dan meletusnya Gunung Agung. Saat seluruh peristiwa itu terjadi, wisatawan ke Bali masih ramai. “Bom dan gunung meletus masih bisa dilihat mata. Orang lebih gampang waspada dan pemerintah jelas bisa menanganinya. Sekarang musuhnya gak kelihatan,” kata Bagus.
Dengan nada getir, Bagus mengatakan jika kondisi tak kunjung membaik, ia akan pulang kampung ke Karangasem, Bali Timur. Di kampung ia akan lebih mudah mencari peruntungan baru. “Bisa bertani,” katanya.
Bagus berharap pemerintah segera mencarikan solusi bagi industri pariwisata, khususnya di Bali. Seperti keringanan cicilan ke bank yang menurutnya akan memperpanjang napas bisnisnya lebih lama lagi. Lantaran saat ini yang paling memberatkannya adalah angsuran pinjaman bank.