Jakarta | PT PLN (Persero) mendapatkan banyak aduan terkait kenaikan tagihan listrik. Executive Vice President Corporate Communcation and CSR PLN I Made Suprateka mengatakan penghitungan tagihan menggunakan rata-rata tiga bulan pemakaian terakhir.
Ia mencontohkan penggunaan listrik pada bulan Desember sebesar 50 kWh, Januari 50 kWh, dan Februari 50 Kwh. Dalam tiga bulan sebelumnya diambil rata-rata 50 kWh.
Lalu pada bulan Maret terjadi keanehan konsumsi listrik dalam kurun waktu dua minggu, ini merupakan dampak dari penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan work from home (WFH). Kondisi ini membuat penggunaan listrik meningkat menjadi 70 kWh.
Karena menggunakan rata-rata tiga bulan sebelumnya, maka konsumsi listrik Maret masih 50 kWh yang dibayarkan di bulan April. Masih ada sisa 20 kWh yang belum tertagih di bulan Maret. Sisa pemakaian yang belum tertagih akan di carry over ke bulan berikutnya.
“Kita catat tiga bulan terakhir 50 kWh. Dengan catatan 50 kWh ada 20 kWh yang belum tertagih. Nah ini tidak ada masalah, pada dasaranya carry over di April,” jelasnya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, (6/5/2020).
Pada bulan April PSBB diterapkan full satu bulan sehingga penggunaan listrik lebih meningkat lagi menjadi 90 kWh. Sehingga konsumsi listrik April menjadi 90 kWh + 20 kWh hasil carry over dari bulan Maret. Sehingga total tagihan melonjak menjadi 110 kWh untuk tagihan April yang dibayar Mei.
“Sudah jelas 110 kWh. Ada kontribusi Maret dan April. Yang tertagih 110 kWh biasanya 50 kWh seolah naik 200% lebih,” jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, memang butuh komunikasi dengan pelanggan agar pesan ini sampai dan tidak menimbulkan salah sangka. PLN menegaskan kenaikan ini bukan akibat dari kenaikan tarif.
“Jadi tidak semata-mata PLN menaikkan tarif listrik semena-mena, apalagi kondisi begini, tidak populis,” ungkapnya.
Ia menegaskan tuduhan yang dialamatkan ke PLN semuanya tidak mendasar, lonjakan ini diakibatkan kegiatan selama 24 jam di rumah. Menurutnya tidak ada yang bisa intervensi di meteran rumah tangga. “Sangat tidak benar utak atik meteran,” tegasnya.
General Manajer PLN UID Jakarta Raya, Ikhsan Asaad mengatakan untuk DKI Jakarta saja jumlah komplain yang masuk mencapai 2.900 aduan. Sebanyak 2.200 aduan sudah diselesaikan.
Dari jumlah ini sebanyak 94% angkanya sesuai dan sisanya 6% perlu koreksi. Misalnya saat didatangi rumah dalam keadaan terkunci, ternyata kosong dan harus bayar Rp 1 juta. Menurutnya memang ada minimum pemakaian. Jika ada kelebihan tagihan maka akan menjadi pengurangan di bulan berikutnya.
“Kita ada energi minimum 40 jam. Meskipun rumah kosong pelanggan harus dikenakan energi minimum 40 jam minimalnya. Ini akan kami selesaikan semua berkomunikasi dengan pelanggan,” jelasnya.
Ikhsan mengajak agar masyarakat hemat listrik sehingga tagihannya tidak melonjak tajam. Selama WFH konsumsi listrik rumah tangga dipastikan akan naik. “Kalau AC, lampu nggak kepakai matikan saja. Membantu supaya tidak mahal bayar tagihan listriknya,” ungkapnya.
Menurutnya secara keseluruhan konsumsi di DKI Jakarta anjlok sebesar 20% sampai dengan Mei 2020 dibandingkan tahun lalu. Sementara konsumsi listrik rumah tangga naik sebesar 6%.
“Rumah tangga ada kenaikan tapi cuma 6%, tidak sebanding dengan turunnya listrik,” ungkap Ikhsan.
EVP quality Assurance Produk dan Layanan Hikmat Drajad mengatakan untuk tingkat nasional rata -rata per harinya ada 889 komplain terkait dengan lonjakan konsumsi pemakaian listrik. Pengaduan ini disampaikan lewat empat channel yakni Facebook, Call Center, Email, dan Twitter.
“Dari semua yang masuk kami koordinasi dengan setiap PLN masing-masing misalnya Disjaya,” paparnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, ada empat jenis pencatatan listrik. Pertama, langsung oleh petugas . Jenis pencatatan ini semua unit PLN masih menerapkan. Kedua, melalui rata-rata penggunaan, artinya tidak dicatat pelanggan tidak kirimkan meteran. Ketiga, melalui swa kelola kirim sendiri. Dan keempat, pencatatan otomatis terhadap meteran. CNBC