Seiring dengan perkembangan industri pariwisata, minat generasi muda di Bali kian menurun untuk menekuni sektor pertanian. Hal ini lantaran profesi sebagai petani dianggap tidak mampu membawa kesejahteraan. Usaha di bidang pertanian pun memiliki beragam resiko salah satunya gagal panen. Rektor Universitas Dwijendra, Dr. Ir. Gede Sedana M.Sc, MMA, menjelaskan bahwa anak muda mempunyai peran penting dalam upaya melestarikan eksistensi pertanian. Selain itu anak muda yang didominasi kelompok demografis milenial tersebut juga mampu mewujudkan sinergitas antara sektor pertanian dan pariwisata.
Jika berbicara tentang Bali, maka yang terlintas adalah kegiatan pariwisata di daerah tersebut. Sedangkan jika berbicara mengenai pariwisata maka imaji yang timbul adalah pesona alamnya yang indah. Salah satu bentang alam di Bali yang memikat wisatwan adalah hamparan sawah hijau berundag. Sayangnya dalam beberapa dekade belakangan eksistensi lahan pertanian di Bali kian memudar, justru berbarengan dengan mendongkraknya sektor pariwisata.
Problem di Pertanian
Gede Sedana mengatakan bahwa tidak serta merta pariwisata dapat dijadikan kambing hitam atas penurunan di sektor pertanian. Ada banyak faktor internal yang menjadikan pertanian kini dianggap kurang memberikan keuntungan secara ekonomi. Problematika yang dihadapi petani tidak hanya di lini hulu tapi juga sampai ke hilir. Tantangan terberat yang dihadapi petani yaitu harga jual hasil produksi pertanian yaitu gabah relatif rendah. Belum lagi resiko gagal panen yang bisa membayangi sewaktu-waktu.
“Diperlukan campur tangan pemerintah sebagai regulator agar sektor pertanian dapat bertumbuh, bila perlu dapat berjalan beriringan dengan industri lainnya seperti pariwisata,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian tersebut.
Menurut Gede Sedana, berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menggenjot sektor pertanian. Mulai dari subsidi pupuk dan pestisida. Pemberian bantuan alat-alat pertanian. Namun semua langkah tersebut hanyalah membantu petani di lini hulu saja. Sedangkan permasalahan yang tak kalah krusial ada di bagian hilir yaitu pada tahap pemasaran hasil pertanian. Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah untuk bisa membantu petani dengan membeli harga gabah dengan harga yang bagus.
“Apakah dengan membeli dengan harga tinggi, maka harga beras yang dijual selanjutnya ikut naik? Menurut saya tidak. Pada tahapan ini kembali dibutuhkan peran pemerintah dengan melakukan bantuan subsidi agar petani mendapatkan harga jual yang bagus begitu pun masyarakat umum tidak merasakan dampak negatif,” tutur alumni Fakultas Pertanian Universitas Udayana tersebut.
Agrowisata Jadi Solusi
Selain membantu petani agar mendapatkan pendapatan yang maksimal dari sektor pertanian, tantangan selanjutnya adalah meningkatkan prestise profesi petani agar petani lebih percaya diri mengembangkan taraf perekonomian mereka. Kata Gede Sedana, saat ini mulai bermunculan kelompok atau individu yang mengembangkan lahan pertanian produktif sebagai suatu destinasi wisata yang menarik. Menurutnya hal itu menjadi solusi untuk meningkatkan rasa kebanggaan pada para petani terhadap apa yang telah mereka tekuni, di samping memberikan nilai tambah untuk perokonomian mereka.
Kegiatan wisata berbasis pertanian atau agrowisata dan aktivitas wisata berbasis lingkungan atau ekowisata saat ini dianggap sebagai alternatif wisata baru yang menjanjikan. Diharapkan lebih banyak lagi petani yang dapat terlibat dalam usaha agrowisata maupun ekowisata supaya mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Keberadaan kelompok pertanian bernama Subak yang eksis di Bali pun diharapkan untuk aktif mengembangkan ekowisata di lingkungan Subak masing-masing.
“Dengan pengembangan ekowisata itu sekaligus mampu menjadikan subak lebih berdaya dalam menghadapi masalah dan tantangan yang cenderung semakin berat,” imbuh suami Ir. Made Widiani ini.
Petani Milenial
Pria yang juga ketua HKTI Badung ini menuturkan semangat bertani yang produktif dan profesional perlu ditumbuhkan di kalangan generasi milenial. Penguasaan teknologi budidaya dan pasca-panen yang disertai jiwa kewirausahaan yang tinggi, diyakini akan memberikan peluang bagi petani milenial untuk menciptakan peluang pasar bagi konsumen.
“Menerapkan teknologi budidaya pertanian di dalam upaya peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk yang dihasilkannya. Misalnya saja dengan mengembangkan pertanian organik yang dapat terserap oleh industri pariwisata,” ucap Sedana.
Selain dapat memberikan dampak ekonomis hal ini juga sekaligus memunculkan simbiosis mutualisme antara pertanian dan pariwisata.
Bagi pemerintah sebagai regulator, ia mengusulkan perlu disiapkan perangkat regulasi dan strategi-strategi yang integratif dari sektor hulu sampai ke hilir di dalam membangun pertanian milenial bagi generasi muda. Pun dibutuhkan peran perguruan tinggi dalam pembangunan pertanian. Yakni menghasilkan teknologi inovatif yang dapat membantu usaha pertanian, mulai dari tahap budidaya, pengolahan hasil pertanian hingga pemasaran. Serta mencetak lulusan khususnya sarjana pertanian yang memiliki jiwa kewirausahaan.
Gede Sedana yang baru saja terpilih secara terpilih sebagai Rektor Universita Dwijendra siap memfasilitasi anak-anak muda yang ingin berkreativitas di sektor pertanian lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pihaknya akan terus meningkatkan kualitas lulusan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Selain itu kualitas SDM dan infrastruktur kampus juga terus dibenahi agar kampus yang berada di bilangan Kamboja Denpasar itu terus menjadi kebanggan masyarakat.