Frasa restrukturisasi beberapa waktu terakhir menjadi sering terdengar. Mulai dari restrukturisasi kredit yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meringankan beban pemberi kredit dan nasabah saat melalui masa pandemi.
Hingga restrukturisasi sebuah perusahaan asuransi yang bermasalah dan menimbulkan gagal bayar terhadap nasabah. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) restrukturisasi adalah penataan kembali agar struktur atau tatanannya baik.
Sebenarnya apakah restrukturisasi ini menjadi solusi yang realistis untuk perusahaan asuransi yang gagal membayar klaim kepada nasabah?
Menanggapi hal tersebut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengungkapkan memang jika ada sebuah perusahaan asuransi mengalami gagal bayar, harus diidentifikasi penyebabnya. Mulai dari investasi yang ditempatkan hingga menyebabkan gagal bayar atau ada penyebab lain.
“Sejauh mana parahnya harus diidentifikasi dulu,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (24/12/2020).
Dia menyebutkan dalam menangani perusahaan asuransi ada pilihan restrukturisasi dan likuidasi. Menurut dia untuk perusahaan asuransi swasta kemungkinan akan sulit dilakukan restrukturisasi.
“Kalau perusahaan asuransi swasta direstrukturisasi ini masih bisa atau tidak? Mereka dnaanya dari mana? Misalnya Bumiputera kalau restrukturisasi dananya dari mana, ini akan jadi tanda tanya besar bisa membaik atau tidak,” ujarnya.
Menurut Anthony, regulator dalam hal ini OJK harus melihat seberapa parah kerugian yang dialami oleh perusahaan asuransi tersebut.
Dia menyampaikan restrukturisasi merupakan salah satu jalan terbaik dibandingkan likuidasi. Meskipun memang ada risiko pembayaran akan lebih lama, karena restrukturisasi membutuhkan waktu.
Anthony mengungkapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah asuransi yang ada di Indonesia dibutuhkan kerja sama antara pemangku kebijakan seperti OJK dan pihak terkait seperti pemegang saham. Hal ini perlu dilakukan agar tak lagi ada pemegang polis yang dirugikan dan menjadi korban.
OJK sebagai lembaga yang menjadi wasit industri keuangan harus menjalankan tugas sesuai fungsi. Misalnya jika ada perusahaan yang mengajukan produk harus benar-benar diperiksa dan dianalisa agar tak terjadi kebobolan.
“Sebetulnya OJK sudah ada guidancenya, kalau perusahaan mau keluarkan produk kan harus lapor. Berapa banyak sih perusahaan asuransi yang mau mengeluarkan produk setiap bulannya? Kalau kerja sesuai tugasnya itu tidak sulit. Karena ada faktor X makanya nggak benar kerjanya,” jelas dia.
Pemegang saham perusahaan juga harus benar-benar mengawasi ruang gerak direksi sebagai pengurus. Misalnya, sebelum mengajukan rencana produk baru ke OJK, pemegang saham wajib meminta penjelasan produk secara detail dan risiko-risiko yang mungkin dihadapi oleh perusahaan dengan meluncurnya produk tersebut.
“Kalau prosedurnya benar tidak akan sulit, pasti lancar-lancar saja,” ujar dia.
(kil/dna/detik)