PERTEMUAN peternak ayam asal Blitar, Suroto, dengan Presiden Joko Widodo dinilai positif untuk membendung persepsi publik yang menilai Presiden antikritik.
Pertemuan itu diharapkan tak sekadar menjadi pelipur lara lantaran Suroto sebelumnya sempat diamankan polisi. Pemerintah diharapkan melahirkan kebijakan konkret atas persoalan yang menjadi keluh kesah dan kritik yang muncul di masyarakat. “Penting dari persoalan-persoalan yang dikritikkan masyarakat itu lahir kebijakan prorakyat.
Kalau Pak Suroto bilang beli lah telur dengan harga wajar maka protes-protes lain juga ada kebijakan-kebijakan politiknya,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno dalam diskusi Crosscheck Medcom.id bertajuk Cerita Suroto Ketemu Joko Widodo, Minggu (19/9).
Menurut Adi, masalah yang dihadapi Suroto hanya letupan kecil dari begitu banyak aspirasi di masyarakat. Karena itu, ujarnya, penting bagi Presiden agar berbagai masukan serta kritik menjadi pertimbangan untuk menyelesaikan permasalahan kebijakan di lapangan.
Menurutnya, pertemuan Presiden dan Suroto sebagai langkah positif dalam menghadapi tudingan antikritik yang dialamatkan ke Presiden. Namun, Adi juga menilai jika yang dipanggil hanya Suroto akan terkesan hanya ingin menghilangkan persepsi miring publik.
“Publik kan tidak terlampau yakin ini sebagai bentuk menghilangkan kesan itu karena luka-luka terkait persoalan demokrasi kita kan tidak selesai. Yang Dipanggil cuma Pak Suroto, yang lainnya bagaimana. Kan kalau mau serius sebenarnya orang-orang yang mengkritik panggil saja. Bikin forum tukang kritik Presiden,” ujarnya.
Atas perintah Presiden, Kapolri kemudian menerbitkan telegram menginstruksikan anggota di lapangan agar humanis dan tak reaktif terhadap warga yang menyampaikan aspirasi maupun kritik. Menurut Adi, kritik masyarakat selama ini juga tertuju ke kepolisian yang kerap dianggap berlebihan.
Dia menilai ada yang tidak sejalan antara sikap Presiden dan tindakan kepolisian di lapangan.Hal itu terlihat pada Suroto yang diamankan polisi saat membentangkan poster di Blitar ketika kunjungan Presiden. Begitu juga dengan penghapusan berbagai mural di daerah-daerah yang dilakukan aparat.
“Ini paradoks demokrasi kita. Satu sisi di depan itu berwajah manis karena kalau kita dengar statement Presiden cukup terbuka dengan kritik. Tapi di panggung belakang kita tidak bisa menutup mata banyak orang yang kemudian berkaitan dengan persoalan hukum,” ujarnya. (OL-2)
Sumber: media network/MI