Ternyata tidak hanya membekali diri dengan modal materiil, pengusaha juga harus memiliki modal penting berupa kemampuan menelisik peluang bisnis. Pengusaha mesti cermat melihat barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat agar nantinya bisnis yang dijalankan dapat berkesinambungan dengan kondisi pasar. Hal ini yang dilakukan Putu Wisnawa, enterpreneur yang bergerak di bidang produksi furnitur berbahan kayu. Kejeliannya menangkap peluang sejak usia belia mengantarkan pemilik UD. Sari Kuning Furnitur ini ke titik kesuksesan usaha.
Menurut pria asli Jembrana ini, bisnis furniture berbahan dasar kayu memiliki prospek cemerlang. Hal itu diungkapkan berdasarkan pengalamannya selama lebih dari tiga dekade bergelut di industri tersebut. Materi kayu masih tetap dilirik lantaran memiliki beberapa keunggulan yang tidak dapat ditemukan pada materi jenis lain. Sebut saja kelebihan kayu adalah memiliki tingkat kekuatan cukup tinggi. Dibanding materi besi misalnya, bobot kayu lebih ringan dan lebih mudah untuk dibentuk.
Kayu solid akan awet dan tahan lama serta tahan terhadap listrik. Di tangan Putu Wisnawa, kayu dijadikan berbagai produk furniture seperti pintu, kusen, jendela, dan barang-barang perlengkapan interior seperti meja, kursi, lemari serta masih banyak lagi. Kebanyakan yang menyerap hasil produksinya masih di seputaran wilayah Bali. Putu Wisnawa memasarkan furnitur hasil garapannya ke hampir semua kalangan. Mulai dari masyarakat umum, perusahaan swasta maupun ke instansi pemerintahan. Pernah sekali ia mencoba pasar ekspor namun banyak kendala yang dihadapi khususnya dari segi regulasi. Oleh karena itu sementara ini ia mau lebih berfokus untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal terlebih dahulu.
Dari segi jenis kayu yang digunakan, cukup bervariasi. Antara lain kayu jati, bengkirai, mahoni, merbau, ulin dan masih banyak lagi. Putu Wisnawa memanfaatkan kayu nusantara yang dikenal memiliki kualitas yang baik. Bahan baku yang digunakan untuk berproduksi kerap didatangkan dari wilayah Bali, Nusa Tenggara, Pulau Kalimantan maupun Papua. Kayu-kayu tersebut diolah secara teliti oleh para SDM berpengalaman sehingga bahan baku dapat dimaksimalkan dan tidak akan terbuang karena salah pengolahan. Dari segi desain, Putu Wisnawa mengikuti permintaan konsumen. Umumnya para pembeli memiliki referensi furnitur sendiri dan tugas Wisnawa menerjemahkan gagasan klien menjadi produk jadi.
Otodidak
Kini dikenal sebagai penguasa furnitur kayu, nyatanya Putu Wisnawa tidak memiliki latar belakang profesi atau pun pendidikan terkait industri perkayuan. Pria lulusan sekolah perhotelan ini melirik bisnis kayu karena melihat usaha serupa dekat tempat tinggal kos yang ia tempati semasa kuliah. Ia menyaksikan usaha mebel tersebut berjalan dengan baik sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa usaha kayu sangat menjanjikan. Pada tahun 1989, Ia kemudian memutuskan pulang ke kampung halaman di Dusun Sarikuning, Desa Tukadaya, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Di sana ia merintis usaha dengan modal terbatas. Bahkan nyaris tanpa keahlian soal kerajinan kayu sama sekali.
Berbekal semangat dan jiwa optimistis untuk maju, Putu Wisnawa tekun mempelajari teknik pengolahan kayu secara otodidak. Pesanan pertama datang dari sanak saudara sendiri berupa kursi. Menggunakan peralatan seadanya dan masih manual, ia mampu menyelesaikan pesanan pertama dengan baik. Setelah itu permintaan terus berdatangan dan momentum itu manfaatkan untuk terus mengasah skill. Perlu waktu sekitar tiga tahun baginya untuk betul-betul menguasai proses produksi. Di tahun 1993 ia berani merekrut karyawan untuk membantu menjalankan usaha.
Putu Wisnawa tidak menyangka keberaniannya dalam menggarap peluang dengan modal terbatas itu telah mengantarkannya pada kesuksesan usaha seperti sekarang. Ia pun berharap roda usahanya ini dapat terus berputar di tengah kompetisi pasar yang semakin ketat. Salah satu kiatnya agar bisnisnya dapat sustain yaitu mempertahankan kualitas produk. Dengan demikian konsumen akan merasa puas dan kemungkinan datang kembali atau merekomendasikan produknya ke calon konsumen potensial lainnya.
Berbicara tentang sustainable juga tak bisa dilepaskan dari keberadaan bahan baku kayu yang harus terus diperbaharui. Dari sisi ketersediaan bahan baku masih dikatakan cukup namun sebagai pengusaha ia memiliki kesadaran untuk ikut melestarikan lingkungan. Yaitu dengan menanam 10 bibit pohon setiap kali menggunakan satu batang pohon.