PENANGKAPAN buron kelas kakap Joko Tjandra berbuah apresiasi yang bertubi-tubi kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Terlepas dari banyaknya skandal terkait dengan pelarian Joko yang melibatkan aparatur sipil negara maupun aparat penegak hukum, termasuk jenderal polisi dan jaksa, publik semestinya memang tak perlu sungkan mengapresiasi kerja kepolisian kali ini. Bagaimanapun Joko sangatlah licin. Dia tak pernah tersentuh meski menyandang status buron terpidana kasus korupsi sejak 2009. Bahkan beberapa kali hukum Indonesia bisa diakalinya. Karena itu, apa pun cerita di baliknya, profesionalitas Polri dalam penangkapan Joko layak dicatat dalam buku prestasi kepolisian. Penangkapan Joko menunjukkan bahwa sebetulnya polisi kita punya kemampuan untuk menguber sekaligus meringkus buron segesit dan selicin apa pun. Namun, ini sekaligus kritik bagi lembaga Polri, kemampuan itu sering kali tak terlihat karena terhalang oleh ketiadaan kemauan. Kini terbukti, begitu ada kemauan, untuk sekelas Joko Tjandra pun polisi bisa menangkap. Lantas, apakah kita cukup dengan memberikan apresiasi? Tentu saja tidak. Apresiasi perlu dibarengi dengan beberapa catatan. Dalam apresiasi mestinya terkandung pula harapan agar ‘drama’ Joko Tjandra ini dapat berakhir tuntas. Tidak setengah-setengah, tidak mengambang lalu dibiarkan, atau tidak berhenti di Joko. Penangkapan Joko mesti menjadi titik episentrum untuk mengusut tuntas semua pihak yang sebelumnya membantu dan melindungi buron selama 11 tahun itu. Jangan malah sebaliknya, karena tenggelam oleh euforia penangkapan Joko, pengusutan terhadap para pelaku yang membantu pelariannya malah tak diseriusi. Kini, selain jenderal polisi yang sudah ditersangkakan karena mengeluarkan surat jalan agar Joko Tjandra bisa melarikan diri, seorang jaksa juga disebut-sebut pernah menemui pelarian itu. Kejaksaan Agung harus segera mengusut keterlibatan jaksanya tersebut.
Namun, amat mungkin tak hanya dua orang itu saja yang terlibat. Pun patut diduga ada tindak pidana suap yang dilakukan Joko Tjandra, baik langsung maupun melalui pengacaranya. Inilah pekerjaan rumah selanjutnya yang mesti dituntaskan pihak kepolisian maupun penegak hukum lain untuk memulihkan kepercayaan publik. Bahkan, dalam kasus ini, rasanya tak berlebihan bila kita juga mendesak Presiden untuk mengevaluasi serius kinerja sejumlah kementerian/lembaga seperti Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Intelijen Negara. Negara tidak boleh takluk oleh seorang Joko Tjandra. Karena itu, sudah sepatutnya tangan-tangan negara tak punya sisi lemah yang gampang dipermainkan para bandit. Hal itu penting karena sejatinya Joko hanyalah satu dari sekian banyak bandit korupsi yang saat ini masih menghirup udara bebas di berbagai negara. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), masih ada 39 buron kasus korupsi selain Joko yang belum ditangkap penegak hukum. Karena itu, penangkapan Joko, juga Maria Pauline Lumowa yang sebelumnya dapat dibekuk dan dipulangkan ke Indonesia setelah buron selama 17 tahun, senyatanya menjadi momentum sangat bagus bagi bangsa ini dalam cita-cita besar memberangus korupsi dari bumi pertiwi. Kita percaya momentum itu, jika dipertemukan dengan kemauan dan keseriusan penegak hukum, bakal menghasilkan sesuatu yang besar. Sekali lagi, tak cukup dengan kemampuan, harus ada kemauan dari penegak hukum. Pun kemauan dari negara. Keterlibatan masyarakat sipil yang terus-menerus menyoroti kinerja aparat penegak hukum dalam kasus Joko Tjandra juga patut diapresiasi. Masyarakat harus terus mengawal kasus ini sampai semua pihak yang bertanggung jawab diseret ke muka hukum tanpa terkecuali. Tegas dikatakan bahwa penangkapan Joko Tjandra sedikitnya mampu mengembalikan muruah, harga diri Polri yang sempat tergerus amat dalam. Publik menunggu tindak lanjut penangkapan itu dengan proses peradilan yang transparan dan objektif.