Drs. I GUSTI BAGUS ARTANEGARA, SH, M.Pd
KETUA YAYASAN IKIP PGRI BALI
Tidak ada yang kekal atau abadi dalam hidup ini. Baik itu karir maupun usia. Begitu juga dalam mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin, tentunya akan ada batas waktunya. Seorang pemimpin bekerja tidak hanya menjaga kelangsungan organisasi atau lembaga yang dinakhodainya. Namun juga sebisa mungkin meninggalkan warisan besar agar dapat bermanfaat untuk para generasi berikutnya. Seperti halnya salah satu tokoh pendidikan di Bali bernama Drs. I Gusti Bagus Arthanegara, SH, M.Pd yang sepanjang karirnya diupayakan untuk membangun suatu warisan nyata untuk pengembangan dunia pendidikan khususnya di Pulau Dewata.
Sepak terjang Drs. I Gusti Bagus Arthanegara, SH, M.Pd dalam kontribusinya di dunia pendidikan di Bali tidak diragukan lagi. Sejak awal karirnya di tahun 1960-an didedikasikan untuk mendidik para siswa serta dilanjutkan pada tahun 1983 ia mulai berfokus pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas guru di Bali. Namanya selalu dikaitkan dengan keberadaan suatu perguruan tinggi keguruan baik sebagai salah satu pendiri maupun pengelola yayasan. Pengabdian selama puluhan tahun akhirnya membuahkan sebuah warisan yang akan diingat dalam sejarah pendidikan keguruan. Di bawah kepemimpinannya berhasil mengubah status kampus yang semula setingkat institut kini berkembang menjadi sebuah universitas.
Menurut Gusti Arthanegara, pendidikan memegang peranan penting dalam pembangunan suatu bangsa, sebab melalui pendidikan dapat meningkatkan mutu dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di negara tersebut. Segala aktivitas di dunia pendidikan tidak terlepas dari peranan guru yang dikenal juga sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bisa dikatakan, guru adalah tokoh utama dalam peran peningkatan SDM Indonesia unggul.
Lanjutnya, tantangan yang ada di dunia pendidikan dari masa ke masa tidak hanya terpaku pada ketersediaan guru, tetapi juga kualitas para tenaga pendidik tersebut. Guru yang memiliki strategi jitu dalam menyajikan materi pada KBM (kegiatan belajar mengajar) akan menjadikan peserta didik mudah dan cepat menyerap materi pembelajaran yang disajikan. Namun sebaliknya, guru yang kurang memahami strategi mengajar yang baik dan benar akan menjadikan peserta didik kesulitan memahami materi pelajaran yang disajikannya.
Transformasi
Kehadiran lembaga pendidikan yang berfokus pada upaya mencetak para guru yang memiliki kecakapan dalam mentransfer ilmu kepada para siswa memang harus terus ditingkatkan. Beruntung, Bali memiliki salah satu perguruan tinggi keguruan terbaiknya yang telah mencetak ratusan guru terampil dari berbagai bidang keilmuan yaitu Universitas Mahadewa Indonesia. Kampus yang semula dikenal dengan nama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Bali tersebut kini telah bertransformasi menjadi sebuah universitas melalui Surat Keputusan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diserahkan oleh LLDIKTI VIII pada 7 Juli 2020.
Perjalanan panjang lembaga pendidikan yang telah eksis selama 37 tahun tersebut tidak terlepas dari peranan para pendirinya. Mereka adalah Drs. I Gusti Agung Gede Oka, Drs. Redha Gunawan, I Gusti Ngurah Oka, SH., dan Gusti Arthanegara saat ini dipercaya sebagai Ketua Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan IKIP PGRI Bali. Selaku pimpinan yayasan, Gusti Bagus Artha memiliki kontribusi besar dalam pengembangan kampus semula dari institut kini telah resmi menyandang status universitas.
“Selama tiga tahun kami berjuang, akhirnya perubahan status IKIP PGRI Bali menjadi Universitas Mahadewa Indonesia dapat terlaksana meskipun terjadi di tengah pandemi covid-19,” ungkap Gusti Arthanegara penuh rasa syukur.
Sejak perubahan tersebut, Universitas Mahadewa Indonesia terbentuk dari 13 prodi. Gusti Arthanegara menelaskan bahwa perubahan status Universitas Mahadewa Indonesia merupakan penggabungan 2 kampus yakni, IKIP PGRI Bali dan STIMIK. Selanjutnya dipilih sebagai Rektor Universitas Mahadewa Indonesia adalah Dr. I Made Suarta, SH., M.Hum., yang sempat memimpin IKIP PGRI Bali. Menurut Gusti Arthanegara, pemilihan rektor merupakan keputusan yayasan dan telah melalui kajian cukup dalam.
Selalu Produktif
Gusti Arthanegara menaruh minat pada bidang seni dan sastra. Hal itu semakin terlihat sejak ia duduk di bangku SMA Negeri 1 Denpasar. Kala itu ia getol menciptakan karya berupa puisi dan cerpen. Karyanya beberapa kali memenangkan ajang kompetisi sastra dan kerap tampil di surat kabar di Denpasar maupun Jakarta. Selepas SMA, ia justru semakin produktif menguntai kata demi kata, syair demi syair. Beberapa karyanya pun berhasil diterbitkan di antaranya Surat Senja (kumpulan puisi), Serba Neka Wayang Kulit Bali, Dalam Bayang-Bayang Cinta (kumpulan puisi), serta beberapa artikel lainnya mengenai kebudayaan.
Bagi Gusti Arthanegara tidak ada batasan waktu tertentu untuk mengisi diri dengan wawasan dan pengetahuan. Ia pun tidak membatasi diri dalam hal melanjutkan pendidikan meskipun telah mengantongi gelar sarjana di Jurusan Anthropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana. Pria kelahiran 21 Juni 1944 ini memiliki antusiasme untuk mempelajari hal-hal baru, sehingga pada tahun 1977 ia berkuliah lagi di jurusan yang berbeda yaitu Pendidikan Sejarah di Fakultas Keguruan Universitas Udayana di Singaraja. Kemudian di tahun 2000 menyelesaikan Pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Mahendradata dilanjutkan ke program magister Hukum pada tahun 2005 di Universitas Narotama Surabaya. Ia juga mengikuti program magister Pendidikan di kampus lainnya yaitu di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka di Jakarta.
Sebelum lulus di Anthroplogi sejatinya ia sudah mengantongi pengalaman mengikuti studi di negeri tirai bambu. Ketagihan belajar di luar negeri, ia pun tidak melewatkan kesempatan belajar di Torrens Valley Institute Adelaide pada tahun 1995. Pengalaman belajar di negara yang asing pun menginspirasi Gusti Artha menciptakan buah karya berbentuk novel yang berjudul Dunia Kampus yang Lain, mengisahkan suka-duka mahasiswa Indonesia belajar di Cina. Buku ini mendapat respon positif dan bahkan dicetak ulang untuk memenuhi permintaan.
Kecintaan pada seni dan sastra pun mendorong Gusti Artha untuk aktif dalam berbagai organisasi terkait di antaranya sebagai pengurus Listibiya Bali, Himpunan Peminat Sastra (HPS) Bali, Yayasan Pedalangan Bali, dan lain-lain. Sedangkan di bidang karir ia banyak bergerak di bidang pendidikan sampai pensiun sebagai pegawai negeri di Kanwil Depdiknas Bali. Salah satu pengalamannya mengajar pertama kali di Sekolah Dwijendra sebagai guru Bahasa Inggris diabadikan pada bukunya yang berjudul 70 Tahun Jalan Pendakian I Gusti Bagus Arthanegara.
Di usianya yang ke 76 tahun, semangat berkarya ayah dari Gusti Ayu Mas Sri Apsari dan I Gusti Bagus Dharma Putra ini tidak pernah luntur. Ia tetap aktif menggoreskan pena serta menjalankan tugas-tugasnya sebagai Ketua Yayasan IKIP PGRI Bali. Ia berharap anak-anak muda saat ini juga memiliki kegemaran di bidang menulis, sehingga ke depan akan terus terlahir penulis karya sastra, baik puisi, cerpen, pantun, syair, penulis naskah drama, novel, dan lain sebagainya.