ATURAN pelonggaran masker yang diumumkan Presiden Joko Widodo, kemarin, ialah sinyal semakin kuat menuju endemi. Presiden menyatakan bahwa masyarakat yang sedang beraktivitas di luar ruangan atau di area terbuka yang tidak padat orang, diperbolehkan tidak mengenakan masker. Namun, bagi masyarakat yang masuk kategori rentan, lansia, atau memiliki penyakit komorbid, Presiden tetap menyarankan untuk menggunakan masker saat beraktivitas. Hal sama berlaku bagi masyarakat yang mengalami gejala batuk dan pilek.
Presiden juga mengumumkan bahwa pelaku perjalanan dalam negeri dan luar negeri yang sudah mendapatkan dosis vaksinasi lengkap sudah tidak perlu lagi melakukan tes swab PCR ataupun antigen. Sebelum Idul Fitri 2022, pemerintah memang menyatakan bahwa skema endemi akan ditentukan pasca-Lebaran. Transisi ke endemi haruslah kita dukung sebab berbagai kondisi menunjukkan kesiapan. Kesiapan utama ialah kasus aktif covid-19 yang terus turun pasca[1]Lebaran. Senin (16/5), jumlah kasus aktif nasional mencapai 182 orang.
Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum Lebaran, misalnya pada 1 Mei 2022 dengan 244 kasus aktif nasional, jelas tidak ada lonjakan kasus pascamusim mudik. Tidak terjadinya lonjakan kasus meski adanya pembebasan mudik ialah bukti telah terbentuknya kekebalan populasi. Berdasarkan teori, herd immunity atau kekebalan populasi tercapai ketika 70% penduduk sudah divaksin. Persentase ini sudah dicapai sejak awal Maret 2022, yakni vaksinasi dosis 2 sudah mencapai lebih dari 70%. Memang, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin serta pakar epidemiologi menyatakan bahwa teori 70% vaksinasi bisa saja tidak relevan dalam pandemi covid-19. Sebab adanya virus yang terus bermutasi sehingga patogen terus berubah.
Meski begitu, kekebalan masyarakat bisa saja telah tercapai dengan baik meski tanpa angka 70%. Kondisi ini pula yang sesungguhnya sudah tampak di Indonesia sejak Desember lalu. Kala itu para ahli meyakini 50% penduduk Indonesia telah memiliki imunitas yang baik. Di sisi lain, kepastian skema endemi memang masih menunggu pengumuman pemerintah. Meski begitu, pertanyaan besar mengenai kelanjutan sistem prokes, program vaksinasi, hingga pembiayaan kesehatan telah semakin mengemuka. Berkaca dari negara-negara barat, bahkan negara tetangga Malaysia yang telah memutuskan fase endemi sejak 1 Mei 2022, kelanjutan vaksinasi ialah hal penting. Vaksin ibarat bantalan yang akan melindungi kita dari ancaman lonjakan kasus di masa depan karena mutasi virus yang terus terjadi.
Sebab itu pula kelanjutan riset hingga produksi vaksin Merah Putih harus terus didukung pemerintah. Indonesia memiliki 6 kandidat vaksin Merah Putih, yakni vaksin buatan Universitas Airlangga dan PT Biotis dikatakan akan mendapatkan emergency use authorization pada Agustus 2022 mendatang. Keberhasilan vaksin merah putih menjamin kemandirian keamanan kesehatan kita di masa depan. Meski begitu, kematangan menuju fase endemi juga harus didukung dengan layanan kesehatan yang terus sigap. Menurunnya BOR dan jumlah kasus aktif tidak boleh menurunkan kesigapan tenaga dan fasilitas rumah sakit.
Pandemi selama dua tahun ini harus menjadi pelajaran mahal akan pembenahan sistem kesehatan kita, termasuk fakta bahwa 90% rumah sakit tidak siap dengan ruang isolasi covid-19. Belum lagi jumlah dokter paru yang hanya setengah dari jumlah ideal untuk penduduk Indonesia. Segala kelemahan itu semestinya masuk dalam catatan untuk perbaikan menuju fase endemi. Berbagai negara maju telah menunjukkan jika kesiapsiagaan sistem kesehatan menjadi penentu utama kecepatan pulih saat pandemi melanda. Pemulihan itu bukan saja pada sisi kesehatan, tetapi juga ekonomi. Sebab dengan sistem kesehatan yang baik kelumpuhan multisistem dapat terhindari.
Dari situ pula ketangguhan dan keyakinan masyarakat untuk terus menjalankan perekonomian, meski melambat, tetap ada. Inilah stimulus yang sebenarnya paling berpengaruh selain subsidi nyata. Dengan begitu, kematangan di fase endemi memang bukan sekadar kerja dunia kesehatan, melainkan seluruh sektor.