BALI-Tenganan Pegringsingan sebagai salah satu desa wisata di Bali yang memiliki ciri khas unik. Desa wisata ini memiliki corak khas Bali kuno atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘Bali Aga’ sehingga tidak dipengaruhi oleh kebudayaan Kerajaan Majapahit yang masuk ke Pulau Dewata.
“Yang dimaksud desa Bali Aga adalah desa yang dihuni oleh penduduk yang memilki adat istiadat Bali kuno. Jadi corak kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk sistem sosial kemasyarakatan (dan) tata upacaranya itu tidak dipengaruhi kebudayaan Bali Majapahit,” kata Ketua Pengelola Desa Wisata Tenganan Pegringsingan I Putu Wiadnyana, Jumat (24/9/2021).
Untuk diketahui, Desa Wisata Tenganan Pegringsingan sebagai salah satu dari 179 desa wisata yang ada di Pulau Dewata. Desa wisata ‘Bali aga’ ini terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 225 dan 750 jiwa penduduk.
Wiadnyana mengatakan, ada beberapa desa di Bali yang masih memiliki corak masyarakat Bali aga yakni Desa Sembiran dan Desa Julah di Kabupaten Buleleng serta beberapa desa di Kabupaten Bangli. Guna membedakan desa Bali aga dengan yang lain, setidaknya dilihat dari empat kriteria.
Pertama yakni dari sistem pemujaaan. Berbagai desa adat di Bali yang terpengaruh kebudayaan Karajaan Majapahit biasanya wajib mempunyai sarana persembahyangan berupa ‘kahyangan tiga’ atau tiga buah pura. Tiga pura tersebut yakni Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem.
Situasi berbeda dapat dilihat di desa Bali Aga, khususnya di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan. Mereka memiliki banyak pura dan tidak hanya menyembah para dewa, tetapi juga leluhur.
“Jadi desa Bali aga umumnya memiliki pura lebih dari khayangan tiga. Kami di sini punya 35 pura. Itu dari sistem pemujaan. Di sistem pemujaan masyarakat Bali aga itu selain memuja dewa, kami memiliki sistem pemujaan pada leluhur dan pemuja alam,” jelas Wiadnyana.
Perbedaan kedua bisa dilihat dari segi pawongan atau sistem tata sosial kemasyarakatan. Di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan semua orang memiliki derajat yang sama. Situasi ini berbeda dengan desa lain yang menganut sistem strata sosial atau biasa disebut kasta.
Selain itu, perbedaan yang ketiga yaitu terletak pada palemahan atau sistem tata ruang. Di desa Bali aga, khususnya di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan hampir 90 persen tanah dimiliki oleh pihak desa dan tidak diperjualbelikan.
Tak hanya tanah, sistem palemahan ini juga mengatur tata ruang dan bangunan. Bangunan di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan memiliki ciri khas tersendiri.
“Jadi rumah-rumah di sini itu punya ciri khas bagaimana mereka menempatkan ruang suci, mana yang ruang profan-nya, jadi berbeda, termasuk cara pandang terhadap kawasan-kawasan yang dianggap memiliki nilai ruang yang lebih tinggi,” papar Wiadnyana.
Kemudian perbedaan keempat yaitu terletak pada tata massa atau waktu. Di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan mempunyai kalender tersendiri. Kalender ini berbeda dengan kalender Bali atau kalender masehi.
“Jadi kami di sini punya sistem kalender sendiri yang berbeda dengan masyarakat di Bali pada umumnya. Seperti contoh, saat ini kami itu ada di bulan ke-9, padahal di (kalender) Bali pada umumnya sekarang ada di bulan ke-4” jelas Wiadnyana.
Daya Tarik
Wiadnyana menjelaskan, Desa Wisata Tenganan Pegringsingan secara umum memiliki dua daya tarik utama yakni pada alam dan budaya.
“Dari sisi alam kami memiliki areal persawahan dan hutan adat yang sudah diakui oleh Kementerian Kehutanan sebagai hutan adat sehingga negara sudah melindungi hutan ini,” terangnya.
“Kemudian dari sisi budaya kami memiliki atraksi adat istiadat berupa upacara adat yang unik, serta memiliki makna, nilai yang luhur,” tambah Wiadnyana.
Karena itu, pengalaman yang ditawarkan saat berkunjung ke desa wisata ini berbeda dari pada ke desa-desa lain di Bali pada umumnya. Sebab, Desa Wisata Tenganan Pegringsingan memiliki nilai kebudayaan yang unik atau tidak sama dengan desa di Bali pada umumnya.
Sumber: Media Network/detik