Badung – I Ketut Antur (70), nelayan tradisional asli Banjar Anyar Gede Kedonganan, Kelurahan Kedonganan Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Ia sudah melaut sejak usia 6 tahun. Zaman dulu ia dan bapaknya melaut menggunakan pencar (alat tradisional berbahan kapas).
“Dulu di sini masih hutan, saya enggak tamat sekolah, dari kecil 6 tahun saya memang sudah diajak bapak melaut, kakek dan bapak saya semua nelayan tradisional di sini,” ujarnya kepada detikBali, Sabtu (2/7/2022).
Ia mengaku pernah menjadi Ketua Kelompok Sumber Rejeki 3 tahun 1960an. Saat itu nama TPI Kedonganan sempat berubah-ubah. Zaman itu ia dan keluarganya memiliki 12 unit alat tangkap ikan purse seine dan mampu menghasilkan tangkapan ikan 50 ton per hari.
“Saat presiden Soeharto naik, ada perubahan alat tangkap seperti purse seine dan mulai ada kredit Pola Bimas namanya, itu dikembangkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kedonganan,” terang kakek delapan cucu ini.
Namun, saat itu, diceritakannya, sempat terjadi penimbunan ikan secara masif karena tidak ada saluran pembuangan ikan yang layak sehingga menyebabkan limbah dan bau. “Jadi ikan menimbun, limbah tidak bisa diatur, ada keributan. Jika angin datang dari selatan masuk ke got bandara, kacau di sana tidak ada pembuangan limbah. Saking banyak tangkapan, warga sini kan demo karena tidak enak baunya sampai ke bandara,” bebernya.
Kemudian ketika berganti kepemimpinan Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur), nelayan juga mendapat banyak dukungan dari pemerintah. Sayangnya, kemudian datang para nelayan dari Muncar, Pengambengan, Negara, Madura, Cilacap, yang mencari ikan di Bali.
Menurutnya, jika dibandingkan dahulu, dari segi jumlah nelayan dan tangkapan kini nelayan tradisional asli Bali lebih sedikit dibandingkan nelayan pendatang. “Kalau sekarang paling 50an, itu sedikit. Mungkin capek tidak ada lagi yang mau menjadi nelayan, mungkin karena sekarang pariwisata banyak dapat (penghasilannya), jadi beralih ke pariwisata, kalau saya tidak, tetap nelayan,” tandasnya.
Ketut Antur menjelaskan, ia menyerahkan hidup dan mati pada laut. Ia mengaku tidak takut dengan kondisi laut yang kadang buruk dan tidak menghasilkan. Anak-anaknya pun kini sebagian besar bekerja berhubungan dengan laut.
“Saya tetap melaut, meski angin besar tetap melaut karena saya harus bertahan terus demi hidup. Ya mau gimana lagi keadaannya di rumah saya tidak ada apa-apa. ,” ungkapnya.
“Anak-anak saya tidak ada yang menjadi nelayan,tapi mereka tahu bagaimana menjadi nelayan, karena kerjanya tidak jauh juga dari air laut, ada yang menjadi penjaga pantai, tapi memang tidak ada yang nelayan,” terangnya.
Sumber: detik