Di tengah dunia yang penuh gongangan dan fitnah saat ini, kewajiban mendasar Islam ini perlu diambil secara serius. Diam di hadapan kemungkaran sejatinya adalah kemungkaran itu sendiri. Diam di hadapan pelaku kemungkaran adalah melakukan kemungkaran tersendiri.
Berbagai kezhaliman dan ketidak adilan yang tidak saja tanpa lagi malu-malu dipertontonkan. Kezhaliman dan ketidakadilan serta kesemena-menaan sebagian orang saat ini bahkan direkayasa diputar balik seolah kebaikan. Menzhalimi orang lain tidak jarang dijuluki dengan menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas.
Di sinilah kewajiban amar ma’ruf nahimunkar mungkin menjadi semakin menemukan tantangannya. Dan orang-orang beriman yang merasa mewakili kebenaran dan kebaikan secara langsung tertantang untuk bangkit dan menyuarakan resistensi itu.
Tentu kita sadar dan harus saling mengingatkan bahwa dalam prosesnya amar ma’ruf dan nahi munkar harus tetap menjaga norma-norma “al-ma’ruf” sehingga prosesnya justeru tidak menjadi “al-munkar” dengan sendirinya.
Artinya, amar ma’ruf dan nahi munkar itu harus dilakukan dalam bingkai akhlakul karimah. Yaitu bersifat positif dan konstruktif. Tidak negatif dan destruktif. Dan pastinya dengan petimbangan asas “dar’u al-mafasid wa jalbu al-mafasid”. Yaitu pertimbangan yang selalu mengedepankan manfaat dan menghindari mudhorat yang lebih besar.
Khusus dalam konteks keIndonesiaan pastinya proses amar ma’ruf dan nahi munkar juga tidak boleh keluar dari batas-batas aturan/hukum nasional yang disepakati. Maknanya bahwa perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tetap harus memperhatikan aspek konstitusionalnya.
Intinya adalah semua orang yang ada setitik cahaya Iman di dadanya wajib menyampaikan resistensi (penentangan) kepada kezhaliman dan kesemena-semenaan sebagian manusia. Siapapun yang pelakunya, termasuk mereka yang sedang diamanahi oleh Allah dengan otoritas atau kekuasaan.