Agustinus Winjaya – Ketua Ikawangi Dewata
Pengabdian yang didasari oleh ketulusan demi menjaga solidaritas antar anggota komunitas sosial kemasyarakatan di daerah perantauan. Demikian visi seorang Agustinus Winajaya, SH., tatkala mendapat amanah kepercayaan untuk memimpin. Ketua Ikatan Keluarga Banyuwangi (Ikawangi) Dewata ini tidak sekedar menjadikan komunitas tersebut sebagai wadah komunikasi antar warga Banyuwangi yang menetap di Pulau Dewata. Ia juga ingin menjadikan komunitas ini dapat memberikan dampak positif di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan kepada para anggotanya.
Keberadaan komunitas sosial Ikawangi Dewata terbentuk dari gagasan membentuk sebuah wadah bagi masyarakat Banyuwangi yang tinggal di Bali. Namun kelompok ini tidak hanya dimaksudkan sebagai sarana komunikasi antar warga Banyuwangi saja. Selain bertujuan menjaga solidaritas dan rasa kekeluargaan anggotanya, Ikawangi Dewata juga membawa misi lainnya yaitu memberdayakan warga Banyuwangi di Bali dalam bidang sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi.
Hal itu tercermin dalam berbagai kegiatan rutin yang telah dilakukan. Agustinus Winjaya selaku ketua mengatakan bahwa aksi-aksi sosial kerap digelar oleh Ikawangi Dewata misalnya dalam kegiatan sedekah tiap hari Jumat. Pada hari yang telah ditentukan tersebut disalurkan 400 hingga 500 bungkus bantuan kepada masyarakat. Juga ada aksi donor darah yang rutin dilakukan, senantiasa disambut antusiasme oleh para anggotanya.
“Sering kali tenaga medis yang menangani aksi donor darah kehabisan kantong darah dari para pendonor,” ujar Agustinus.
Ia melanjutkan bahwa dari beragam kegiatan sosial yang telah dilaksanakan tidak hanya bertujuan membantu para anggota komunitas saja, juga diusahakan agar bermanfaat untuk masyarakat di luar itu. Contohnya saja fasilitas ambulance gratis yang disediakan untuk siapa saja yang membutuhkan terlepas dari latar belakang sosial pasien.
Agustinus juga memaparkan bahwa di bidang kebudayaan, pihaknya sering menggelar kegiatan yang melibatkan kesenian-kesenian dari Banyuwangi. Seperti kegiatan pertunjukan Tari Gandrung yang merupakan tarian khas Banyuwangi lengkap dengan gamelan asli daerah tersebut. Pergelaran sering diadakan di pusat-pusat kegiatan wisata di Bali sebagai bentuk edukasi dan sosialisasi budaya Banyuwangi ke pergaulan internasional.
Sementara di bidang ekonomi, keberadaan Ikawangi tentunya memiliki dampak yang begitu besar bagi para anggotanya. Terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang. Tantangan yang dihadapi saat ini bagaimana tetap menjaga situasi ekonomi yang kondusif di tengah perjuangan melawan risiko tertular penyakit.
Agustinus berusaha memotivasi para anggotanya untuk tetap yakin dan berusaha secara maksimal melaksanakan kegiatan ekonomi sebagaimana mestinya. Ia mengatakan setiap pelaku usaha harus tetap konsisten menjalankan usaha. Diharapkan para pedagang untuk tetap menjalin komunikasi dengan para pelanggan meskipun banyak hal yang harus dibatasi guna menjaga protokol kesehatan yang ada. Di saat yang sama juga harus tetap mawas diri karena kesehatan harus tetap menjadi skala prioritas teratas dibanding yang lainnya.
“Nantinya pada situasi telah kembali normal, yang dilakukan adalah tinggal melanjutkan saja sehingga tidak terburu-buru memulai dari awal,” ujarnya
Karir
Pengalaman dalam hal kepemimpinan tidak hanya dimiliki Agustinus dalam organisasi kemasyarakatan. Kemampuannya sebagai pemimpin dalam suatu usaha juga sudah diragukan lagi. Pria ini dikenal senantiasa jeli merespons segala peluang yang ada sehingga dirinya dapat dikatakan telah berhasil mencapai kesuksesan dalam hal finansial.
Perjuangan hidupnya pun tak kalah menginspirasi. Agustinus mengakui mengawali semua kegiatan usahanya dari rasa kecintaan pada dunia seni. Khususnya seni ukiran dan ornamen. Ia tertarik mempelajari ukir-ukiran khas di Pulau Dewata sehingga mendorong ia hijrah ke Bali pada tahun 1990. Sesampainya di Bali, ia justru melihat peluang lainnya yang ternyata tak kalah menjanjikan.
“Masih berhubungan dengan dunia seni. Kalau sebelumnya saya tertarik pada ukiran pada media kayu, kali ini saya ingin menuangkan gairah seni ke atas media kain,” tuturnya mengisahkan awal mula merintis karir usaha di Bali.
Tepatnya, ia mengembangkan usaha produksi dan distribusi produk di bidang tekstil. Produk-produk hasil karyanya berupa kain batik maupun print dengan motif orisinal dari gagasannya sendiri. Sehingga karyanya tersebut otentik dan tidak bisa ditemui dari pengrajin lainnya.
Orisinalitas karya pun menarik minat salah seorang wisatawan asing yang sedang berplesiran ke Bali. WNA itu tertarik membeli beberapa hasil karya Agustinus untuk dibawa sebagai buah tangan sekembali ke negaranya. Ternyata produk tekstil tersebut juga diminati di luar sana, sehingga membuat wisatawan tersebut kembali ke Bali untuk memesan produk lebih banyak lagi. “Melalui usaha penjualan kain buatan saya tersebut, turis asing tersebut bahkan dapat memboyong keluarganya berwisata ke Bali. Hasilnya sangat menguntungkan,” kenang Agustinus. Selanjutnya pada tahun 2005, Agustinus kembali melirik peluang lainnya. Kali ini ia mencoba merespons peluang di bidang properti yang memang sedang naik daun di Bali. Puncak keberhasilannya menikmati manisnya keuntungan di industri properti yaitu di tahun 2010. Kala itu properti sangat laris di pasaran dan dalam kurun waktu setahun saja harga jual kembali mampu berkali-kali lipat.
Prinsip Lima Dasar
Kemampuan melihat peluang kemudian mengeksekusinya sehingga menjadi suatu usaha yang menghasilkan dipelajari secara otodidak. Agustinus mengatakan bahwa latar belakang keluarganya bukanlah dari kalangan pengusaha. Jiwa wirausahawan itu didapat dari suatu proses melihat dan mengamati kemudian berinovasi. Tentunya harus dibarengi keberanian menghadapi resiko usaha. Sementara dalam hal pengabdian masyarakat, dirinya tidak melakoni peran berkontribusi untuk membantu sesama hanya lantaran sedang menjabat sebagai ketua organisasi semata. Usaha untuk menjadi pribadi yang bermanfaat tidak harus dilakukan pada saat menjabat posisi tertentu saja. Kepercayaan yang telah diberikan sebagai pemimpin, tidak menambah atau mengurangi porsi pengabdian kepada masyarakat.
“Sebisa mungkin kita berbuat yang terbaik untuk masyarakat, terlepas penilaian yang akan kita dapat nantinya. Tentu apa yang kita lakukan tidak dapat memuaskan semua orang sekaligus,” tegasnya.
Dirinya mengaku selama ini memegang prinsip masyarakat Jawa yaitu lima dasar yang harus ditanamkan. Kelimanya disebut juga RENOSATEBU yaitu Rela, Nrimo, Sabar, Temen dan Budi luhur. Rela yaitu sikap untuk tidak mengharapkan pujian, kemudian Nrimo atau menerima segala situasi dengan ikhlas. Selanjutnya adalah Sabar menghadapi permasalahan, serta mengembangkan sikap berbudi luhur guna menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain.