Sejumlah elemen buruh berhimpun kembali mendirikan partai untuk ikut Pemilu 2024. Langkah ini mengundang perhatian karena sejak pemilu pasca-reformasi digelar pada 1999, Partai Buruh belum pernah meraih kursi di DPR RI. Bagaimana kans isu-isu kaum buruh dilekatkan dengan suara elektoral sehingga Partai Buruh bisa masuk parlemen?
Partai Buruh bangkit lagi. Sebanyak 11 elemen serikat buruh yang dipimpin Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal kembali didirikan. Partai itu berencana ikut serta dalam Pemilu 2024.
Iqbal optimistis partainya bisa lolos ambang batas parlemen pada kontestasi demokrasi pada tiga tahun mendatang. “Target Partai Buruh adalah lolos parliamentery threshold 15 sampai 20 kursi di DPR,” kata Iqbal dalam konferensi pers secara virtual pada Jumat, 8 Oktober 2021.
Optimisme itu muncul lantaran Partai Buruh mengklaim punya banyak konstituen, khususnya dari kelas pekerja. Bila melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja di Indonesia memang cukup besar.
Jumlah buruh tercatat sebanyak 48,52 juta orang pada Februari 2021. Angka tersebut setara dengan 37,02% dari total tenaga kerja di Indonesia yang mencapai 131,1 juta orang. Ada pula pekerja bebas di pertanian sebanyak 5 juta orang. Lalu, pekerja bebas di sektor non-pertanian tercatat mencapai 6,7 juta orang. Sementara, pekerja keluarga atau tak dibayar tercatat sebanyak 19,2 juta orang.
Meski terlihat besar, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya tak yakin semua pekerja di akan mendukung Partai Buruh. Menurutnya, buruh tak hanya membawa satu identitas pada diri mereka.
“Buruh juga punya ideologi, suku dan agama, hingga sejarah pilihan politik keluarga yang berbeda-beda. Alhasil tak bisa serta-merta kesamaan latar belakang pekerjaan itu membuat Partai Buruh itu dipilih,” kata Yunarto kepada Katadata.co.id pada Senin, 11 Oktober 2021.
Sementara, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin mengatakan, banyak kelompok buruh yang terfragmentasi. Alhasil, mereka pun memiliki afiliasi dengan berbagai partai politik lainnya. “Banyak juga partai politik yang punya sayap politik di kalangan buruh,” kata Ujang. Hal tersebut membuat suara Partai Buruh kerap kali minim dalam beberapa gelaran pemilu sebelumnya.
Partai Buruh didirikan pertama kali pada 28 Agustus 1998 dengan nama Partai Buruh Nasional (PBN). PBN eksis hingga Pemilu 2009 dengan dua kali berganti nama. Pada Pemilu 2004, PBN berganti nama menjadi Partai Buruh Sosial Demokrat. Sementara, PBN beralih menjadi Partai Buruh pada Pemilu 2009.
Pada tiga pemilu, perolehan suara yang didapatkan Partai Buruh sangat minim.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), PBN hanya mendapatkan 140.980 suara pada Pemilu 1999. Jumlah tersebut hanya setara dengan 0,13% dari total suara yang ada saat itu. Alhasil, PBN tak bisa mendapatkan kursi di parlemen. Berbeda dengan 21 partai lainnya yang mulus melenggang ke Senayan (tanpa stembus accord). Pada pemilu 2004, PBN yang berganti nama menjadi PBSD hanya mendapatkan 634.515 suara.
Jumlah itu setara dengan 0,56% dari total suara dan gagal melenggang ke Senayan. Pada 2009, PBSD yang kembali berganti nama menjadi Partai Buruh hanya mendapatkan 265.369 suara. Jumlah itu setara dengan 0,25% dari total suara yang diberikan. Bahkan elektoral Partai Buruh kalah dibandingkan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) yang memperoleh 745.965 suara.
Sumber : Media network/Katadata.co.id