Pemerintah berencana menambah stimulus bagi UMKM, korporasi padat karya, dan perlindungan sosial untuk memacu konsumsi.
Pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga menjadi kunci Indonesia terhindar dari resesi akibat pandemi virus corona. Konsumsi masyarakat yang masih rendah merupakan masalah utama yang mesti diatasi. Pemerintah pun tengah berjibaku menyelesaikannya dengan menambah sejumlah stimulus. Harapan pemerintah pada kuartal ketiga terlihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo kepada para menterinya saat membuka acara Penyaluran Dana Bergulir untuk Koperasi di Istana Negara, Kamis (23/7) lalu. Ia menyatakan, “kuartal ketiga 2020 (ekonomi) sudah harus naik lagi. Kalau enggak, nanti akan lebih sulit.” Jokowi tak berlebihan lantaran pertumbuhan ekonomi triwulan kedua memang tak bisa diharapkan untuk mencapai positif. Pada 19 Juni lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan memproyeksikan ekonomi kuartal kedua -3,8%. Sementara, Bank Indonesia pada Rabu (29/7) meramal laju ekonomi secara tahunan pada periode itu -0,82%. Resesi secara teknis adalah pertumbuhan minus dalam dua kuartal berturut-turut.
Meski demikian, jalan pemerintah memulihkan ekonomi kuartal ketiga tak akan mudah. Konsumsi masyarakat belum pulih sepenuhnya setelah pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar pada Juni lalu. PSBB ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya konsumsi rumah tangga. Tingkat konsumsi rumah tangga selalu berselisih tipis dengan laju ekonomi. Pada kuartal pertama 2020, misalnya, saat konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 2,84%, ekonomi tumbuh 2,97%, terendah sejak 2001. Hal ini lantaran konsumsi rumah tangga menyumbang 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Salah satu indikator utama konsumsi belum tumbuh terlihat dari indeks penjualan riil yang -14,4% pada Juni, meskipun sudah naik dari -20,6% pada Mei. Indeks menunjukkan konsumsi barang di tingkat ritel Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) masih rendah. Padahal, berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2018, sumbangan sektor ini terhadap PDB hingga 57,8%. Serapan tenaga kerjanya pun cukup tinggi. Belum pulihnya UMKM lantaran serapan atas stimulus dalam agenda Pemulihan Ekonomi Nasional belum maksimal. Dari anggaran Rp 123,46 triliun, berdasarkan data Kemenkeu yang disampaikan Kepala BKF Febrio Kacaribu pada 28 Juli, penyerapannya baru 25%.
Data Kemenkop UMKM per 21 Juli pun menunjukkan hal serupa. Dari total anggaran stimulus UMKM, penyalurannya baru Rp 11,84 triliun. Total penerimanya baru mencapai 1.095.950 pelaku koperasi dan UMKM dari lebih 64,2 juta yang tercatat oleh BPS per 2018. Rinciannya, investasi Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi UMKM (LPDB-KUMKM) telah tersalurkan Rp 381,4 miliar kepada 34 koperasi. Terdiri dari pola konvensional senilai Rp 271,8 miliar dan syariah Rp 109,6 miliar. Lalu, penerima manfaat subsidi bunga kredit sebanyak 917.860 UMKM senilai Rp 78,40 miliar dari target 60,6 juta pelaku. Sementara UMKM debitur bank Himbara yang telah menerima manfaat sebanyak 178.056 pelaku dengan total nilai Rp 11,383 triliun. Permasalahan dari stimulus pemerintah ini, seperti diungkapkan Ketua Umum Induk Koperasi Usaha Wanita cum Wakil Ketua Komite UMKM Kadin, Sharmilla Yahya pada 25 Juni lalu yaitu masih banyak pelaku yang tidak ramah sistem perbankan atau tidak bankable. Khususnya pelaku usaha mikro dan kecil. Sehingga, mereka tak bisa mengakses seluruh stimulus pemerintah yang menggunakan skema perbankan. Padahal, menurutnya, jumlah pelaku usaha mikro dan kecil yang paling banyak dari total UMKM. Pernyataan ini terkonfirmasi dengan data Kemenkop UMKM pada 2019 bahwa 98,68% dari total pelaku UMKM adalah usaha mikro. Lalu, usaha kecil sebanyak 1,22% dan usaha menegah 0,09%. Data BPS pada 2018 pun mencatat hanya 11,7% pelaku usaha mikro dan kecil yang mengajukan kredit. Sisanya sebanyak 88,30% tak memperoleh atau mengajukan kredit. Catatan OJK pada 2020 pun menyebutkan baru 12,67 juta pelaku UMKM yang memiliki rekening atau 19,74% dari target penerima subsidi bunga pemerintah.
Industri padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja pun masih terseok, misalnya pariwisata. Data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) per 14 Juli menyatakan okupansi hotel secara nasional baru 10-20%. Bahkan di Bali yang menjadi salah satu destinasi utama Indonesia cuma 1%. Yogyakarta yang juga menjadi tujuan wisata hanya 10%. Akibat anjloknya industri ini, Juru bicara Satgas Covid-19 Kemenparekraf Ari Juliani pada 22 Juni lalu menyatakan tenaga kerja pariwisata yang terdampak telah mencapai lebih 200 ribu orang di seluruh Indonesia. Angka ini meningkat pesat dari data 1 April yang sebanyak 30.421 orang. Ditarik lebih luas, jumlah orang kehilangan pekerjaan menurut data Kementerian Tenaga Kerja per 2 Juni mencapai 3,05 juta orang selama pandemi. Proyeksinya bisa mencapai 5,23 juta orang. Sedangkan masa kelaziman baru belum mampu mengembalikan pekerjaan mereka. Ketua Umum Kadin Rosan P. Roeslani dalam sebuah diskusi virtual pada 21 Juli lalu menyatakan, baru sebagian pengusaha yang mempekerjakan kembali karyawannya. Itupun berkisar di industri makanan dan baru 50-60%. Sebuah kondisi yang semakin mengancam tingkat konsumsi masyarakat, mengingat tanpa pekerjaan penghasilan masyarakatan menurun. Ironisnya, yang paling terdampak adalah masyarakat kelas bawah. Survei BPS yang dirilis pada 1 Juni terhadap 87.379 responden menunjukkan 35,78% menyatakan penghasilannya menurun. Penurunan paling besar dirasakan responden berpenghasilan Rp 1,8 juta sebanyak 70,53%. Disusul responden berpenghasilan Rp 1,8 juta-Rp 3 juta sebanyak 46,77%.
Upaya pemerintah memberi bantuan sosial kepada masyarakat juga belum efektif. Dari total anggaran Rp 203,9 triliun seluruh program perlindungan sosial dalam PEN, Kemenkeu mencatat baru 38,31% yang terserap. Menkeu Sri Mulyani dalam acara Business Talk Series Sekolah Bisnsi IPB, 27 Juli lalu, menyatakan penyerapan yang masih rendah khususnya di program kartu prakerja, Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta dana desa. Mantan Menkeu Chatib Basri pun menilai stimulus perlindungan sosial saat ini masih bolong di kelas menengah bawah yang jumlahnya mencapai 115 juta, menurut data Bank Dunia. Ia mengusulkan anggaran BLT ditambah Rp 120 triliun. “Kalau mereka dapat Rp 1 juta setiap bulan, maka perlu Rp 30 triliun. Kalau BLT diperpanjang sampai empat bulan, perlu tambahan BLT Rp 120 triliun,” katanya dalam sebuah diskusi daring, Senin (20/7).
Kekhawatiran Terhadap Pandemi Ganjal Konsumsi
Permasalahan lain yang mengancam tingkat konsumsi masyarakat adalah kekhawatiran terhadap pandemi virus corona. Hal ini tercermin dari hasil survei Alvara Research Center terhadap 1.225 responden periode 22 Juni-1 Juli 2020 atau selama masa kenormalan baru. Dari seluruh responden, 60,5% menyatakan cemas tertular virus corona. Sementara yang menyatakan sedikit cemas dan tidak cemas sama sekali hanya 37,7%. CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali dalam diskusi daring penyampaian hasil survei pada 12 Juli menyatakan, pandemi menyebabkan masyarakat merasa dilematis beraktivitas di luar rumah. “Terutama dirasakan pada masyarakat menengah ke bawah, alasan utamanya adalah karena takut kehilangan pekerjaan,” katanya.