SADAR atau tidak, kaum remaja dan anak-anak Indonesia masa kini ini sedang terjerembab dalam pandemi tidak kelihatan akibat penggunaan gawai secara berlebihan. Banyak orang tua di Indonesia tak menyadari buah hati mereka secara klendestin sedang dijajah oleh gim daring.
Gim daring menjadi tidak bisa terbendung lagi karena Indonesia merupakan salah satu pasar digital terbesar di dunia yang menggiurkan khususnya dalam kaitan dengan video game. Berdasarkan laporan We Are Social, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pemain video game terbanyak ketiga di dunia. Laporan tersebut mencatat ada 94,5% pengguna internet berusia 16-64 tahun di Indonesia yang memainkan video game per Januari 2022.
Sementara itu Filipina berada di posisi pertama dengan persentase pengguna internet yang bermain video game sebesar 96,4%. Posisi kedua ditempati Thailand dengan persentase 94,7%. Vietnam menempati posisi keempat lantaran ada 93,4% pengguna internet di negara tersebut yang bermain video game. Setelahnya ada India dan Taiwan dengan persentase masing-masing 92% dan 91,6%.
Walaupun anak remaja di bawah usia 16 tahun belum dimasukan catatan tersebut tetapi dengan adanya pandemi selama dua tahun terakhir, usia di bawah 16 tahun mungkin lebih banyak dari rentang usia dalam catatan itu.
Angka pemain video game tinggi diikuti pula tingkat kecanduan. Dikatakan bahwa tingkat kecanduan akibat main gim daring di Indonesia paling tinggi di Asia. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Dr Kristiana (2019), seorang pakar adiksi yang juga Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dikutip dari ABC.net, di Jakarta, Jumat (14/6/2019).
Saat ini tingkat kecanduan yang terlihat memang usia anak-anak dan remaja pada level pendidikan SD-SMA, sangat memprihatinkan. Kedua kelompok manusia itu dalam dua tahun terakhir telah banyak jadi korban dan terjerembab dalam situasi candu akibat gim daring.
Intensitas penggunaan gawai yang tinggi demi gim maka banyak anak dan para remaja memasuki situasi kritis baik jiwa maupun jiwa. Otak kesadaran mereka sudah terkuras habis karena diracuni oleh kenikmatan yang ada pada gim daring. Atas nama kesenangan, kenikmatan itu menyebabkan pre-frontal cortex yang ada pada otak mereka rusak.
Keadaan candu sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Situasi ini juga semakin tidak terkendali dengan munculnya pandemi covid-19 dua tahun lalu, yang berkontribusi memberi peluang dan ruang kepada kaum remaja dan anak anak menggunakan gawai secara meluas dan terus menerus. Bukan hanya di kota tetapi sampai di sudut kampung, anak-anak dan kaum remaja mendadak jadi gamers.
Dalam suasana terkurung dan terkekang (stay at home and learning from home) sebagai kekhasan covid-19, tentu jangka waktu dua tahun sudah cukup bagi sebuah doktrinasi digitalisme global masuk ke alam bawa sadar kaum remaja dan anak-anak. Selanjutnya anak dan remaja secara tidak sadar terjebak dalam situasi candu (kenikmatan) secara terus menerus.
Dalam situasi dijebak itu, anak dan kaum remaja tidak siap dan tanggap apalagi adaptasi terhadap gawai. Mereka belum punya seperangkat pemahaman demi memastikan bahwa barang yang ada di tangannya sangat berbahaya bagi dirinya.
Otak mereka yang sangat elastis telah dipaksakan secara diam- diam masuk ke ruang maya, sehingga justru digigit oleh dunia maya. Mereka terhanyut di alam maya itu dalam balutan kenikmatan sesaat.
Tidak ada yang mendamping dan menuntun anak tentang literasi digital sebagai penangkalnya. Situasinya berlangsung secara alamiah. Orang tua pun lengah. Barang pintar (smartphone) awal mula dianggap bodoh, ternyata begitu berdampak yang malah membodohi balik manusia sebagai penggunanya.
Naluri manusia pembelajar yang suka ingin tahu, memaksa otak elastis usia anak dan remaja bekerja lebih ekstra. Berbagai aplikasi diungguh pada gawai terutama aplikasi gim tertentu tanpa mereka tahu manfaatnya bagi perkembangan mental dan kepribadian mereka. Jiwa dan raga mereka terus mengalami dekadensi akibat selalu ingin cari tahu (couriousity) demi kenikmatan sesaatnya itu.
Dampak lanjutan sudah mulai terasa saat ini sebagai suluh dari kebisaan menikmati gim sepanjang hari. Orang tua sudah ada yang pasrah dengan keadaan. Stres dan putus asa melihat fenomena kelainan perilaku anak dan remaja mereka. Orang tua tidak tahu acara apa yang harus ditempuh untuk membebaskan anaknya dari kolonialisme digital. Orang tua rupanya ‘terlambat sadar’ bahwa era digital telah banyak ‘menggigit’ jiwa dan raga buah hati mereka ketika perilaku buah hati mereka berubah total.
Aditif atau kecanduan secara massal telah menerpa anak-anak dan remaja. Orang tua di berbagai rumah tangga sudah pusing tujuh keliling dengan perilaku buah hati mereka yang ditimbulkan akibat gim daring. Tidak tenang, tidak fokus, jari-jari selalu bergerak, emosional, cengeng, malas, muram, cuek, tidur, bangun sesuka hati, dan sebagainya bisa menjadi tanda bahwa anak dan remaja sudah dicengkram oleh gim daring pada gawai.
Di rumah, sekolah, dan masyarakat luas, anak-anak tampaknya mengalami dekadensi sosial juga. Asyik dengan diri sendiri dan cendrung mengabaikan ritus sosial. Apa yang akan terjadi pada masa mendatang terutama pada anak yang aditif dengan gim daring?
Evolusi manusia dipercepat
Boleh jadi era digitalisasi tanpa literasi manusia memungkinkan manusia mengalami evolusi besar. Evolusi bukan terjadi karena alam seperti teori evolusi yang dikemukan oleh Charles Darwin tetapi alat cangking seperti gawai atau smartphone adalah cara smart mengeliminasi generasi manusia saat ini menuju generasi hilang. Maka kita akan mengalami lost generation akibat game online.
Manusia bisa kembali menjadi monyet dalam tataran perilaku. Tubuh berbentuk manusia tetapi perilaku seperti monyet. Generasi yang literasi dan cerdas menggunakan gawai tidak akan tersisih atau masuk sayatan lost generation. Mereka tetap dan terus berjuang berisi karena paham dengan gim sesungguhnya dari era digitalisasi.
Kehadiran gawai memang pada prinsipnya membantu kehidupan manusia. Namun di sisi lain manusia menyalahgunakannya pada anak-anak dan remaja. Hal ini telah mengantarkan manusia pada kerusakan perilaku baik moral, sosial, dan relasi alamiah sesama manusia seperti yang terjadi pada anak anak kita.
Gawai bukan lagi sumber belajar sesuai dengan manfaat luhurnya demi meningkatkan taraf kehidupan manusia malahan membuat manusia merasa terjajah. Ini memungkinkan manusia lebih cepat jadi mayat hidup akibat sering berselancar dalam ruang maya.
Selengkapnya Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/491238/game-online-digital-colonialism-dan-lost-generation