MASA Lebaran pada 2021 ini menciptakan suatu dilema yang sulit bagi pemerintah, yaitu memberikan pilihan membolehkan atau melarang mudik. Sementara itu, budaya mudik sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia yang biasanya dilakukan pada akhir Ramadan dengan mengunjungi sanak saudara di kampung halaman mereka.
Namun, dengan adanya kekhawatiran kemungkinan melonjaknya angka kenaikan korban covid-19, apabila mudik dibiarkan terus berjalan, pemerintah telah melarang masyarakat mudik dari 6–17 Mei 2021. Dengan demikian, masyarakat menjadi sulit untuk melaksanakan Lebaran bersama-sama dengan keluarga di kampung halaman mereka.
Keputusan yang diambil pemerintah tersebut, sangat masuk akal. Mengingat, angka korban dari penularan covid-19 semakin bertambah. Di samping adanya pembelajaran kasus dari India yang mengalami lonjakan korban yang sangat besar.
Saat ini budaya mudik tidak hanya memiliki nilai-nilai sosial yang selama ini dipakai sebagai waktu yang tepat untuk bersilaturahim dan berkumpul bersama keluarga.
Dari sisi sosial, mudik menjadi salah satu sarana pengikat dan persatuan keluarga, walaupun mereka telah bekerja dan menetap di kota lain. Mudik, juga memilki aspek komersial yang semakin tahun memiliki nilai ekonomi yang semakin besar, sejalan dengan bertambahnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi komersial inilah, budaya mudik mampu mendorong kegiatan ekonomi ke level yang lebih tinggi sehingga diharapkan mampu mendorong pemulihan ekonomi yang saat ini mengalami gangguan akibat pandemi covid-19
Potensi ekonomi yang hilang
Larangan mudik tersebut, di satu sisi akan menjadi kebijakan yang ampuh untuk meredam potensi kenaikan jumlah korban covid-19. Namun, di sisi lain akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap potensi ekonomi yang hilang akibat larangan tersebut.
Terdapat beberapa alasan yang menjadi dasar mengapa ekonomi mudik itu merupakan salah satu momentum penting dalam mendukung perekonomian nasional. Pertama, kegiatan ekonomi di pusat maupun di daerah mencapai puncaknya menjelang perayaan Lebaran sampai beberapa hari setelah Lebaran berakhir.
Di sinilah perputaran uang menjadi sangat besar sekali dan selama ini tidak ada kejadian lain yang bisa menandingi pesta rakyat yang terjadi di saat Lebaran tersebut. Diperkirakan perputaran uang yang terjadi selama mudik maupun Lebaran mencapai sekitar Rp200 triliun atau bahkan lebih hanya dalam waktu beberapa hari.
Kedua, tradisi mudik memungkinkan terjadinya aliran uang yang mengalir dari pusat ke daerah-daerah dalam jumlah besar. Aliran uang itu akan menciptakan redistribusi kekayaan yang akan dinikmati anggota keluarga maupun masyarakat yang tinggal di daerah-daerah.
Tunjangan hari raya (THR) yang diterima mereka yang bekerja tentunya dapat dinikmati pula oleh anggota keluarga mereka, yang pada akhirnya juga akan dibelanjakan di daerah tempat tinggal mereka. Redistribusi kekayaan itu tentunya menjadi salah satu faktor yang mampu mendukung kegiatan ekonomi di daerah.
Ketiga, potensi kegiatan ekonomi di beberapa daerah sedikit banyak juga akan terganggu sehingga geliat beberapa sektor ekonomi di daerah tidak lagi seperti Lebaran di tahun-tahun sebelum pandemi terjadi. Kegiatan pariwisata dan perhotelan di daerah tidak bisa mengharapkan kunjungan tamu sebanyak Lebaran sebelumnya. Sektor kuliner, baik itu restoran, makanan, minuman, maupun oleh-oleh makanan khas daerah juga akan merasakan dampaknya.
Usaha penyewaan mobil maupun perdagangan ritel di daerah juga terganggu. Padahal, sebagian dari mereka itu ialah pelaku UMKM yang selama ini menjadi penyokong perekonomian di daerah. Kegiatan transportasi darat, laut, dan udara, juga sangat terganggu sehingga armada angkutan mereka terpaksa harus menganggur dulu untuk sementara waktu.
Keempat, ekonomi mudik selama ini menjadi salah satu pemicu meningkatnya permintaan dan konsumsi rumah tangga, yang menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Kelima, selama ini kegiatan usaha mengalami peningkatan produksi untuk memperbesar suplai barang menjelang Lebaran.
Namun, dengan adanya larangan mudik itu, otomatis sebagian dari kegiatan usaha ekonomi akan berkurang ataupun berhenti untuk sementara waktu. Dampaknya ialah mereka dengan terpaksa harus merumahkan sebagian karyawan mereka untuk beberapa waktu sampai kondisi menjadi normal kembali.
Pilihan sulit
Larangan mudik yang telah dikeluarkan pemerintah memang telah menjadi suatu pilihan yang tidak mudah. Prioritas dan keinginan pemerintah untuk lebih mementingkan faktor kesehatan masyarakat memang perlu kita apresiasi. Pemulihan ekonomi nasional yang selama ini berjalan tentunya tidak akan mencapai target yang optimal, apabila jumlah penularan covid-19 semakin membesar.
Tujuan untuk memulihkan ekonomi justru akan mengalami kemunduran, dan bahkan kegagalan apabila penularan virus covid-19 menjadi semakin sulit untuk dikendalikan. Di sinilah kita menemui suatu kontradiksi yang mungkin tidak disadari sepenuhnya oleh semua pihak, mengenai dua kepentingan yang berbeda tersebut.
Untuk itu, perlu dicarikan jalan keluar, agar larangan mudik itu, selain untuk mengurangi dampak penularan covid-19, juga tidak mengganggu kegiatan ekonomi lain yang ada di daerah-daerah.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. /media indonesia