Latar belakang ekonomi yang kurang memadai serta sederet keterbatasan hidup, kerap membatasi seseorang untuk melangkah maju. Lalu menyalahkan kekurangan dalam hidup sebagai alasan atas kegagalannya. Justru hal itu tak berlaku bagi I Made Wijana yang bertumbuh di lingkungan keluarga petani. Ia memiliki semangat untuk bangkit serta menunjukkan bahwa petani merupakan profesi yang menjanjikan.
Berawal dari seorang petani penggarap, I Made Wijana saat ini mencatatkan diri sebagai salah satu pengusaha beras sukses di Bali. Ia berhasil merintis serta mengembangkan bisnis Rice Milling atau penggilingan gabah menjadi beras. Kemudian memasarkan beras tersebut kepada para rekanan distributor. Saat ini ia menargetkan segmentasi pasar kalangan masyarakat di sekitar Jembrana. Ia sudah memiliki jaringan pemasaran ke seluruh desa yang ada di kabupaten paling barat di Bali ini.
Melalui bendera usaha UD. Agus Sayang, setiap harinya ia mampu memproduksi gabah sekitar 20 ton. Pabriknya yang berlokasi di Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana tak pernah sepi dari kesibukan para karyawannya dalam melakukan proses penggilingan gabah menjadi beras. Bahkan dalam kondisi krisis ekonomi yang merupakan dampak dari pandemi 2020-2021 ini, Made Wijana masih mampu mempertahankan eksistensi usahanya.
“Saya selalu optimis terhadap prospek usaha di bidang rice milling ini selama masyarakat masih menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok. Saya pun bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berkarya di tengah tantangan saat ini,” ujar Made Wijana.
Beras Lokal Berdaya Saing Tinggi
Selama ini untuk memenuhi pasokan gabah di pabriknya, Made Wijana menyerap hasil pertanian dari para petani di seputaran wilayah Jembrana. Hanya saja bila dirasa pasokan gabah di Jembrana tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk berproduksi, maka ia pun akan menyerap hasil panen padi dari kabupaten lainnya. Misalnya saja dari wilayah terdekat yaitu Kabupaten Tabanan. Sampai saat ini ia masih mengandalkan hasil pertanian padi dari petani yang ada di Bali.
Made Wijana memiliki alasan tersendiri mengapa ia memilih konsisten memproduksi beras dari padi lokal. Menurutnya dari segi kualitas, beras lokal Bali mampu bersaing dengan beras produksi luar Bali. Dari segi cita rasa beras produksi petani Bali unggul sehingga masih diminati masyarakat meskipun beras produksi luar daerah membanjiri pasar lokal.
Selama ini beras yang didatangkan dari luar daerah dikenal memiliki tampilan menarik yaitu putih bersih. Sehingga banyak diminati pelaku industri hospitality maupun masyarakat di perkotaan. Berbeda dengan beras hasil produksi dari pabrik lokal di Bali, kebanyakan memiliki tampilan yang bersih namun tidak seputih beras dari luar daerah. Hal ini lantaran Made Wijana maupun pengusaha rice milling lainnya di Bali tidak melakukan proses pemutihan beras. Proses ini melibatkan bahan kimiawi yang dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan apabila dikonsumsi jangka panjang.
Perjuangan
Jauh sebelum meraih kesuksesan seperti saat ini, Made Wijana harus jatuh bangun merasakan pahitnya hidup sebagai orang susah. Namun, roda kehidupan yang terus bergulir telah memaksanya untuk mau berusaha agar bisa merubah keadaannya di masa depan. Di saat Sang Ibu harus berperan sebagai orang tua tunggal, Made Wijana pun berusaha tidak membebani ibunya dengan cara tekun belajar sembari bekerja.
Perjuangan ibunya dalam menopang ekonomi keluarga sangat luar biasa. Bersyukur lewat kerja keras ibunda tercinta, Made Wijana berhasil menamatkan SMP pada tahun 1969. Setelah itu ia melanjutkan perjuangan itu dengan bekerja sebagai buruh tani. Ia bertugas mengolah sawah milik orang lain mulai dari proses pembajakan, penanaman, hingga tahap panen tiba. Dari sana ia mendapat pengetahuan tentang pertanian. Meski tidak pernah belajar disiplin ilmu pertanian namun bisa dikatakan wawasan Made Wijana tak kala cemerlang dibanding mereka yang menuntut ilmu di perguruan tinggi.
Melihat peluang usaha pemrosesan gabah menjadi beras sangat menjanjikan, Made Wijana memberanikan diri membuat sebuah unit penggilingan padi di desanya. Awalnya ia berniat mengontrak sebidang lahan, namun sang pemilik lahan tersebut berbaik hati tidak menarik uang sewa padanya. Keberuntungan itu menjadi awal mula yang baik bagi Made Wijana dalam merintis usaha.
Setelah kontrak berakhir di tahun 2000, Made Wijana menggunakan tabungannya untuk membeli lahan sendiri. Di sana ia mendirikan pabrik yang masih bertahan sampai sekarang. Kemudian di tahun 2014 ia berhasil melengkapi pabriknya dengan mesin berteknologi terkini. Semua itu merupakan hasil kerja keras dan konsisten menekuni bidang yang ia pahami secara mendalam.
Sejak awal terjun ke dunia usaha berpuluh tahun lalu, Made Wijana telah mengusung nama UD. Agus Sayang. Nama tersebut merupakan perwujudan kasih sayangnya terhadap sang buah hati. Made Wijana mengatakan bahwa selama ini motivasinya untuk bekerja bersumber dari keinginan untuk mempersiapkan masa depan gemilang untuk putra sulungnya yang bernama Agus. Terbukti pada tahun 2016, tongkat estafet usaha telah diserahkan kepada putranya tersebut. Di tangan anak pertama Made Wijana, perusahaan dinilai semakin bertumbuh karena Sang Anak memiliki pengetahuan lebih tentang teknologi rice milling.
Selain terus berdoa agar usaha yang ia rintis dari nol tersebut dapat terus bertahan, Made Wijana pun berharap nantinya ia dapat mengembangkan usaha dengan memproduksi beras organik. Saat ini ia tidak terlalu melibatkan diri pada manajemen usaha sebab telah mengabdikan diri pada masyarakat. Khususnya aktif dalam kegiatan organisasi subak di daerahnya dan kerap dipercaya untuk memberikan pendapat tentang dinamika pertanian di Jembrana.