Jakarta | Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H Laoly, turun langsung menjemput Maria Pauline Lumowa ke Serbia. Yasonna dan delegasi Indonesia sudah mulai bertandang ke Beograd, Serbia, sejak, Sabtu, 4 Juli 2020.
Awalnya, Yasonna dan delegasi Indonesia ke Serbia untuk memperkuat kerjasama bilateral di bidang hukum dan hak asasi manusia. Belakangan, ada tujuan lain dari keberangkatan Yasonna dan delegasi Indonesia ke Serbia. Mereka datang ke Serbia salah satunya untuk menjemput Maria Lumowa.
Lewat proses ekstradisi, Yasonna dan jajarannya berhasil membawa Maria Lumowa ke Indonesia. Meskipun, Yasonna dan delegasi Indonesia kerap mendapat hambatan dalam upaya ekstradisi Maria Lumowa. Lantas, siapa sebenarnya, Maria Pauline Lumowa?
Maria Pauline Lumowa merupakan Bos PT Gramarindo Mega Indonesia yang lahir di Paleloan, Sulawesi Utara, 27 Juli 1958. Ia ditetapkan sebagai salah satu tersangka kasus pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Namun, ia melarikan diri ke luar Indonesia pada 17 tahun yang lalu.
Maria Pauline Lumowa masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buronan aparat penegak hukum Indonesia. Maria Lumowa dikabarkan terbang ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Maria Lumowa disebut-sebut sering bolak-balik Singapura-Belanda. Ia juga dikabarkan pernah tercatat menjadi warga negara Belanda. Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014. Sebab, Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.
Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda justru memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019. Maria Lumowa ditangkap berdasarkan surat red notice Interpol.
“Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham,” kata Yasonna melalui keterangan resminya, Kamis (9/7/2020).
“Selain itu, keseriusan pemerintah juga ditunjukkan dengan permintaan percepatan proses ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa. Di sisi lain, Pemerintah Serbia juga mendukung penuh permintaan Indonesia berkat hubungan baik yang selama ini dijalin kedua negara. Dengan selesainya proses ekstradisi ini, berarti berakhir pula perjalanan panjang 17 tahun upaya pengejaran terhadap buronan bernama Maria Pauline Lumowa. Ekstradisi ini sekaligus menunjukkan komitmen kehadiran negara dalam upaya penegakan hukum terhadap siapa pun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia,” ucap Yasonna.
Delegasi Indonesia pimpinan Yasonna Laoly dijadwalkan akan tiba di Tanah Air bersama Maria Pauline Lumowa pada hari ini. Yasonna berencana langsung menggelar konpers di Bandara Soekarno Hatta, sekira pukul 10.00 WIB.
Sekadar informasi, pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau setara Rp 1,7 Triliun dengan kurs saat itu, kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari ‘orang dalam’ karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri.
Namun Maria Pauline Lumowa ternyata sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.