Jakarta | Amerika Serikat (AS) kini dilanda protes keras dari masyarakat selama beberapa hari. Bahkan di beberapa negara bagian protes itu berujung kerusuhan, seperti bentrok dengan petugas, pembakaran hingga penjarahan.
Setidaknya, dikutip dari CNN International, ada tiga negara bagian sudah menyatakan status darurat. Sementara itu, 40 kota juga dikabarkan menerapkan jam malam.
Tentara cadangan AS, Garda Nasional, juga diturunkan. Mengutip sumber yang sama 5.000 pasukan diaktifkan di 15 negara bagian termasuk Washington DC, sementara 2.000 lainnya bersiaga.
Lalu siapa George Floyd sebenarnya?
George Floyd adalah seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun. Ia tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis yang menahannya.
Sebagaimana dilansir AFP, George ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai US$ 20 (Rp 292 ribu) pada Senin (25/5/2020) lalu. Penangkapan George yang terekam dalam sebuah video yang menjadi viral tersebut memperlihatkan Chauvin menekan leher George.
Padahal ia dalam keadaan sedang diborgol dan menelungkup di pinggir jalan, selama kurang lebih tujuh menit. Dalam video itu terlihat George berkali-kali merintih kesakitan dan mengaku sulit bernafas.
Ia bahkan sempat menangis dan memanggil ibunya sesaat sebelum tewas. “Lututmu di leherku. Aku tidak bisa bernapas… Mama. Mama,” ujar George diiringi dengan rintihan sebelum tewas.
Beberapa masyarakat yang berada di lokasi kejadian meminta Chauvin untuk melepaskan lututnya dari leher George. Sayangnya permintaan tersebut tidak diindahkan.
Saat George tidak lagi bergerak dan merintih, ia langsung dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulan. Sesampainya di rumah sakit Hennepin County Medical Center, George dinyatakan meninggal dunia.
Hal ini memicu kemarahan publik, khususnya warga kulit hitam. Mereka meminta pertanggungjawaban atas kasus pembunuhan tersebut.
Alhasil Derek Chauvin dipecat. Bukan hanya dirinya, tiga rekannya Tou Thao, Thomas Lane, dab J. Alexander Kueng juga diberhentikan dari kepolisian.
Namun, hal ini belum membuat komunitas di sana tenang. Saudara George menuntut agar para tersangka dihukum atas pembunuhan.
Kemarahan menjalar menjadi protes, yang melanda kota-kota besar di AS. Kerumunan orang turun ke jalan untuk menuntut kebrutalan polisi dan pertanggungjawaban atas beberapa kematian warga kulit hitam di tangan mereka.
Minneapolis dan St. Paul, yang dikenal sebagai “Kota Kembar” di Minnesota, dipenuhi oleh protes besar. Di St. Paul, para pemrotes berhadapan dengan polisi anti huru hara yang menyemprotkan tabung gas air mata.
“Lebih dari 170 bisnis ikut dirusak dan dijarah oleh para demonstran,” kata polisi.
Di Minneapolis, ribuan pengunjuk rasa mengepung sebuah kantor polisi dan membakarnya. Mereka menyemprotkan cat pada sisi-sisi bangunan, mencoba memanjatnya, dan bersorak saat nyala api menyelimuti bangunan itu.
Semua staf di dalam telah dievakuasi sebelum kebakaran, dan lebih dari 500 tentara dari Minnesota National Guard dikirim untuk menetralkan keadaan di Minneapolis dan St. Paul.
Sedangkan di Memphis, Tennessee, pengunjuk rasa berbaris melalui tengah kota selama beberapa jam. Mereka mengangkat tulisan yang menuntut keadilan bagi beberapa orang kulit hitam Amerika terbunuh belum lama ini, yakni George Floyd, Ahmaud Arbery, dan Breonna Taylor.
Gubernur negara bagian itu sempat meminta maaf atas apa yang terjadi. Bahkan Presiden AS Donald Trump juga mengaku sudah menghubungi keluarga Floyd secara langsung.
Namun protes tak kunjung usai. Meski oknum polisi yang menyebabkan Floyd meninggal sudah ditahan karena tekanan massa, protes hingga kini masih membara di AS.