Kain tradisional Bali dulunya identik dengan kesan kuno dan hanya dipakai pada saat upacara adat atau keagamaan. Kini di tangan seorang anak muda bernama I Putu Agus Aksara Diantika, kain-kain hasil produksi penenun Bali mulai diminati generasi masa kini sebagai busana formal maupun semi formal. Bahkan kain asli Bali seperti Tenun Songket dan Endek telah berhasil menembus pasar internasional.
Ada banyak pilihan ide bisnis yang bisa dipilih, namun Agus Aksara tetap optimis menjalankan usaha penjualan kain tradisional. Menurutnya, pesona kain endek dan songket belum kunjung surut meskipun ada banyak pilihan jenis kain yang muncul di dunia fashion. Di Bali sendiri penggunaan kain songket masih cukup masif sebagai busana adat sementara kain endek kian marak digunakan sebagai bahan dress pesta maupun busana kantor.
Mengusung brand Dian’s Rumah Songket dan Endek, Agus Aksara memasarkan produk-produknya melalui jejaring media sosial. Terbukti dengan sistem marketing yang mengikuti arus perkembangan teknologi, jangkauan pangsa pasar pun menjadi lebih luas. Selain itu, keuntungan berpromosi di media sosial, sekaligus merangkul generasi masa kini agar tertarik menggunakan kain tradisional Bali dalam keseharian mereka. Apalagi kain yang dipasarkan pria kelahiran 28 Februari 1993 ini jauh dari kesan kuno, banyak pula yang memiliki corak yang relevan dengan perkembangan fashion dewasa ini.
Menembus IMF World Bank
Diakui pria asal Banjar Pegatepan, Desa Gelgel, Kabupaten Klungkung ini, kompetitor di bidang ini memang sangat banyak. Apalagi di daerah asalnya, merupakan sentra pengrajin kain songket, banyak pengusaha yang juga menekuni usaha di bidang sandang tersebut. Begitu terjun sebagai pengusaha, Agus pun bertekad untuk membuat diferensiasi pada produk. Ia melakukan langkah inovatif untuk menciptakan sebuah kain tenun ala Agus Aksara, yaitu endek yang dibuat dengan perpaduan proses tradisional dan modern.
“Kain dibuat oleh pengrajin dengan teknik tradisional kemudian dikombinasikan dengan air brush. Harapan saya yakni agar tenun Bali tetap pada ciri khasnya namun di satu sisi mampu bersaing di tengah pesatnya perkembangan zaman, salah satunya melalui pemanfaatan kemajuan teknologi,” ujar Agus.
Kain inovasi itu ia beri nama kain endek ikat Catri, tidak hanya dicari oleh pasar lokal saja, bahkan hingga menembus pasaran dunia. Kekhasan yang dimiliki endek ikat catri nyatanya mampu menarik minat penyelenggara event internasional bertajuk Annual Meeting IMF-WB 2018. Dari beragam contoh yang diberikan kepada penyelenggara, kain endek hasil desain dan produksi Agus Aksara terpilih dan dipergunakan oleh para kepala negara termasuk presiden Joko Widodo.
“Saya berpartisipasi dalam pengadaan seragam seluruh kepala Negara se-Asean, Sekjen PBB, hingga Presiden World Bank,” ujar Agus seraya mengenang kesibukannya pada saat gelaran tahunan tersebut.
Tongkat Estafet
Usaha penjualan kain songket sejatinya telah dilakoni keluarga Agus Aksara secara turun temurun. Sang Nenek merupakan salah satu dari banyak pengrajin songket di Desa Gelgel, menggantungkan ekonomi dari industri tersebut. Sedangkan ibu Agus Aksara, meskipun bukan berasal dari Klungkung, memiliki jiwa pebisnis sehingga ikut melanjutkan usaha keluarga dalam hal pemasaran produk. Sehingga bisa dikatakan, sejak kecil ia telah akrab dengan keberadaan kain-kain tradisional Bali.
Memasuki masa perkuliahan, Agus berkeinginan untuk bergerak di industri pariwisata saja tinimbang melanjutkan tongkat estafet usaha keluarga. Hal itu ia lakukan dengan memilih Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua sebagai kampus tempat menimba ilmu. Tak disangkanya, masa-masa itulah yang menjadi momentum awal ia mengawali langkah sebagai wirausaha.
Awalnya ia membuat tugas untuk satu mata kuliah, yaitu membuat sebuah liputan mengenai usaha mikro kecil dan menengah. Agus memilih menjadikan usaha yang dijalankan ibunya di Klungkung sebagai tema liputan tersebut. Setelah dipresentasikan di kelas, ternyata dosen mata kuliah tersebut ingin menemui Agus secara personal. Pengajarnya itu mengutarakan pada Agus rencana pengadaan seragam di kalangan para dosen dan memintanya untuk menjadi supplier kain endek yang akan dipergunakan sebagai seragam nantinya. Agus pun dengan semangat mencari bahan yang dimaksud di daerah asalnya kemudian menjualkannya kepada para dosen. Dari situlah Agus menghasilkan rupiah pertamanya lewat usaha sendiri.
“Sejak saat itu saya tidak lagi berminat bekerja di luar negeri seperti cita-cita saya sebelumnya. Saya ingin menjadi pengusaha endek,” tegasnya.
Pada tahun 2013 akhir ia mulai memasarkan kain-kain endek yang didapatnya dengan sistem meminjam di Pasar Klungkung. Hingga pada tahun 2016 ia mengutarakan niatnya pada Ibunda tercinta untuk melanjutkan usaha penjualan songket yang telah dirintis sejak tahun 1996 tersebut. Maka sejak saat itulah Agus mulai menggunakan nama Dian’s Rumah Songket dan Endek.
Meski perkembangan kain songket dan endek masih terbilang cukup baik, namun Agus masih berharap agar pemerintah dapat lebih gencar lagi mempromosikan kain-kain tradisional Bali khususnya ke luar Bali. Diharapkan dengan promosi yang gencar dan masif akan meningkatkan pamor kain Bali di skala nasional maupun internasional. Selain itu masalah mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas produk-produk hasil inovasinya belum mendapatkan titik temu sehingga inilah menjadi pekerajaan rumah khususnya bagi Agus selaku pengusaha maupun pemerintah sebagai regulator.