Hubungan Taiwan dan China makin tegang. Taiwan tidak bisa menerima jadi bagian dari China, di bawah tawaran “satu negara, dua sistem”.
Hal ini diutarakan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, sebagaimana ditulis Reuters, Rabu (20/5/2020). Ia dengan tegas menolak klaim kedaulatan China.
“Kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk menemukan cara untuk hidup berdampingan dalam jangka panjang dan mencegah intensifikasi antagonisme dan perbedaan,” kata perempuan tersebut dalam pelantikan sebagai presiden untuk kedua kalinya.
“Di sini saya ingin mengulangi kata-kata, perdamaian, paritas, demokrasi, dan dialog. Kami tidak akan menerima penggunaan satu negara dua sistem Beijing, yang menurunkan posisi taiwan dan merusak status quo lintas-selat. Kami teguh pada prinsip ini.”
China menegaskan reunifikasi tak bisa dihindari dan tak akan menolerir kemerdekaan Taiwan, yang masih dianggap sebagai salah satu provinsi. Konsep “satu negara dua sistem” ini sebelumnya dijalankan di Hong Kong.
“Reunifikasi adalah keniscayaan,” ujar Kantor Urusan China-Taiwan menanggapi Tsai.
“Kami memiliki kemauan kuat dan keyakinan untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas wilayah.”
Ketegangan kedua negara rupanya juga membawa AS masuk. Taiwan, sebagaimana diketahui adalah sekutu dekat AS.
Pesawat angkatan udara AS dikabarkan terbang di atas perairan dekat China. Dikutip dari South China Morning Post, pesawat tersebut adalah bomber B-1B Lancer.
Kedatangan pesawat pembom B-1 ini juga dibenarkan militer AS dalam Twitternya. Salah satu analis memperkirakan ini juga terkait ketegangan China dengan Taiwan.
Media itu mencatat, ini bukan pertama kali terjadi. Angkatan udara AS sudah beberapa kali terbang di atas Selat Taiwan dan Laut China Selatan yakni 11 kali penerbangan di Maret dan 13 kali penerbangan di April.
Bomber juga terbang di atas pantai Taiwan timur laut pada 6 Mei. China juga menyiagakan militernya sejak tiga bulan terakhir.
Direktur Studi Internasional di Universitas Nanjing mengatakan AS sepertinya khawatir pandemi corona (COVID-19) yang menyebar membuat China makin berpengaruh di kawasan itu. “Atau mungkin meningkatkan operasi militer ke Taiwan,” katanya.
Respons AS, ia sebut, mungkin sebagai upaya menahan China. Ini juga taktik AS untuk membuat sekutunya semakin dekat dan mengasingkan China.
Sementara itu seorang pengamat militer di Hong Kong bernama Song Zhongping menilai seringnya bomber AS terbang memberi signal tertentu. “Ada potensi pertempuran di masa depan,” ujarnya.
Menurutnya bomber B-1B Lancer perlu terbang untuk mengetahui kondisi medan perang. China dan AS, ujarnya, memasuki situasi kompetisi yang kompleks dan lebih suram dari perdang dingin AS-Uni Soviet dulu.
“Risiko konflik militer tidak dapat dikesampingkan di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan. Dan mereka meningkat,” tegasnya.
AS dan China sudah terjebak perang dagang sejak 2018 yang menekan perekonomian global. Meski sudah menandatangani fase I perdamaian, tensi keduanya naik setelah AS menyalahkan China karena penyebaran corona.