KETIKA masih menjadi guru, saya pernah bertugas menemani para siswa untuk live in di salah satu desa di Kabupaten Bandung. Pada program tersebut, para siswa berkunjung ke sekolah dasar (SD) di desa mereka tinggal untuk mengajar, berolahraga, dan bermain bersama anak-anak. Ketika belajar di kelas, para siswa berinisiatif membuat pohon impian. Mereka menulis cita-cita dan kemudian menyandingkannya di samping foto polaroid anak-anak SD, yang sudah tercetak.
Hal menarik, yang kemudian muncul setelah anak-anak menuliskan cita-citanya, ialah keseragaman cita-cita anak-anak SD untuk menjadi guru dan pemain sepak bola. Ketika ditelusuri lebih lanjut, anak-anak menyatakan bahwa guru-guru mereka merupakan sosok inspiratif, memiliki kehidupan ekonomi baik dan dihargai di masyarakat.
Sementara itu, pemain sepak bola sangat dihargai oleh para anak lelaki sebab mereka sangat bangga para pemain bola dari klub Persib Bandung. Berdasarkan kondisi faktual itulah, anak-anak ingin menjadi guru dan pemain sepak bola. Di salah satu desa di Banten, pada salah satu momen penelitian di satu sekolah, saya berta nya hal yang sama mengenai cita-cita anak-anak.
Rata-rata anak menjawab ingin menjadi guru. Setelah saya mengobrol dan mengamati para guru, ter nyata memang para guru di sekolah tersebut sangat berdedikasi. Kami tinggal di rumah to koh adat yang juga guru di sekolah itu. Setiap sore dan ma lam anak-anak berkumpul di rumah tersebut, ada yang belajar, latihan baris-berbaris untuk kegiatan Pramuka, bermain, dan juga melakukan aktivitas lain nya.
Di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, setiap mengunjungi sekolah, saya selalu bertanya tentang apa cita-cita anak-anak. Guru, pendeta, dokter, tentara, dan pegawai negeri sipil merupakan cita-cita anak-anak di sekolah yang dikunjungi.Profesi-profesi tersebut, yang tampak di keseharian anak-anak. Yang menarik, ketika saya bertemu anak-anak Papua yang bersekolah di sekolah asrama di daerah Sentul, tempat mereka mendapatkan pendampingan menyeluruh dari para guru, jawaban berbeda saya dapatkan.
Imajinasi mereka tentang pekerjaan di masa depan bergeser dari teman-teman yang bersekolah di Papua. Anak-anak tersebut ingin menjadi dokter kandungan, ahli biologi, arsitek, ahli permesinan dan elektro, juga ragam profesi lainnya.
Satu gambaran yang lebih kontras dapat terlihat pada para siswa yang saya ajar. Ketika kelas dua belas untuk memotivasi diri para siswa diminta oleh para wali kelas untuk me motret diri dalam profesi impian mereka. Maka, di dalam setiap kelas akan berderet foto gagah anak-anak dengan ragam profesi mulai dokter, arsitek, pengacara, pengusaha, politisi, fotografer, aktor/aktris, seniman, musisi, dan masih banyak lainnya. Pilihan cita-cita itu sangat berbeda sebab mereka ialah anak kelas menengah yang secara sosial ekonomi jauh lebih baik daripada anak-anak yang saya ceritakan di bagian sebelumnya.
Akses dan pendampingan setara
Potret cita-cita dari anak-anak di beragam tempat itu menjadi gambaran singkat betapa latar keluarga, lingkungan sosial keseharian, pendampingan guru di sekolah sangat berpengaruh pada impian mereka di masa depan. Imajinasi tentang masa depan dibangun melalui interaksi mereka di arena keluarga, sosial, dan pendidikan. Tampak betul perbedaan antara yang tinggal di wilayah yang minim akses dan wilayah yang memiliki limpahan akses. Ruang interaksi berpengaruh besar terhadap imaji masa depan.
Bagi anak-anak yang berlatar belakang keluarga mampu, lingkungan keluarga memberi warna dominan terhadap imaji mereka tentang pekerjaan di masa depan. Sementara itu, anak-anak dari keluarga miskin yang serbaterbatas aksesnya perlu dorongan yang lebih kuat dari orang dewasa di sekitarnya, terutama para guru, bahwa mereka bisa lepas dari jeratan kemiskinan melalui pendidikan. Arena pendidik an menjadi lokus penting bagi anak-anak agar memiliki kemauan dan kemampuan mewujudkan imaji mereka.
Romo Mangunwijaya dalam Sekolah Merdeka: Pendidik an Pemerdekaan (2020) me ngembangkan pendekatan pedagogik dan didaktik bagi anak miskin yang disebutnya murid dari keluarga ekonomi lemah (MKEL). Dari observasinya didapat, bahwa anak dari keluarga ekonomi lemah selalu dirundung kesedihan, ketakutan, rasa minder, kurang harga diri, kelesuan, condong ke rasa putus asa, apatis, dan sisi kelam lain. Sementara itu, kurikulum pendidikan lebihfokus kepada mereka yang mampu secara ekonomi dan siap meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi, jelas tidak cocok untuk siswa MKEL.
Karena itu, menurut Romo Mangunwijaya, beberapa hal harus dilakukan ketika mendidik MKEL. Yang paling utama mengajak mereka untuk mengalahkan rasa takut, minder, malu, dan nrimo dalam konteks negatif. Sisi positif perjuangan mereka sebagai anak-anak dari keluarga miskin, seperti keuletan, tahan menderita, tekad untuk berjuang dan menolong sesama harus dipupuk sehingga mereka menjadi lebih percaya diri. Sebab, dari segi kebertahanan dan kelentingan untuk menghadapi situasi sulit, anak-anak dari keluarga miskin sudah teruji. Membuka akses pendidikan dan pembimbingan yang memadai menjadi sangat utama.
Para pendidik, menurut Romo Mangunwijaya, juga harus mampu memperluas horizon perhatian siswa MKEL dalam memandang kehidupan sambil membangkitkan jiwa eksploratif, kemauan untuk bertanya dan belajar, sisi kreatif, pemahaman atas dunia yang kompleks, menjadi sosok merdeka dan bertangung jawab, jujur dan memihak ke benaran, berani dan gigih, mau berdialog, toleran serta cinta sesama manusia juga jiwa solidaritas. Karakter itu dibangun melalui ruang pendidikan. Guru, menurut Romo Mangunwijaya, harus mampu memekarkan bakat eksplorasi dan kreativitas anak.
Pendidikan sudah jelas merupakan arena pertarungan yang tidak seimbang bagi anak-anak dari keluarga miskin dengan anak dari keluarga mampu. Anak keluarga miskin serbaterbatas, sementara anak-anak mampu memiliki persenjataan lengkap seperti fasilitas di rumah, sekolah me madai, bimbingan belajar tambahan, kursus bahasa dan bakat, gizi memadai dan dukungan finansial, serta psikologis melimpah.
Di sinilah, posisi penting hadirnya negara dan para penolong bagi anak-anak yang serbaterbatas aksesnya. Negara hadir untuk memberikan akses dan perspektif yang lebih luas mengenai hidup, pilihanpilihannya serta pekerjaan yang mungkin dapat diraih oleh anak-anak yang memiliki banyak keterbatasan. Tugas mulia yang harus digenapi jika kita mau terus mempercayai pentingnya pendidikan untuk masa depan anak bangsa.
Sumber : media network/media Indonesia