Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
PENGEMBANGAN Energi Baru Terbarukan (EBT) merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan di negeri ini secara serius dan terus menerus. Alasannya, produksi energi fosil cenderung menurun dari tahun ke tahun, demikian juga dengan cadangan energi fosil di Indonesia semakin menipis. Pada saat cadangan energi fosil sudah habis, sedangkan EBT belum dapat menggantikannya, maka pada saat itulah Indonesia akan sangat tergantung pada impor energi yang membebani perekonomian.
Potensi dan prospek pengembangan EBT sesungguhnya sangat besar, baik dengan melakukan konversi eksisting energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan, maupun dengan mengembangkan EBT baru, yang sumber daya (resources) tersedia meruah di Indonesia. Hanya masalahnya, pengembangan EBT itu dibutuhkan investasi yang besar dan teknologi tinggi yang terbarukan. Masalah lainnya dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah harga keekonomian energi EBT masih lebih mahal ketimbang harga energi fosil, sehingga investor masih enggan dalam pengembangan EBT.
Padahal, setiap teknologi ada zamannya dan setiap zaman ada teknologi baru. Begitu juga dalam pengembangan teknologi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang ramah lingkungan. Dari waktu ke waktu, teknologi PLTU berkembang secara inovatif yang dapat menyempurnakan dan memperbaharui faktor keekonomian, keandalan, kualitas, dan keramahan terhadap lingkungan. Faktor keekonomian dan ramah lingkungan merupakan faktor sangat penting yang menjadi pilihan tidak terelakkan dalam pengembangan PLTU.
PT PLN (Persero) secara berkelanjutan mengembangkan PLTU yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah PLTU Tanjung Jati B, yang terletak di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. PLTU Tanjung Jati B menerapkan teknologi Flue Gas Desulfurization (FGD), yang digunakan untuk menghilangkan sulfur dioksida (SO2) dari emisi gas buang pembangkit listrik berbahan bakar fosil batubara.
FGD merupakan proses pencampuran emisi gas hasil pembakaran batu bara dengan batu kapur basah agar kandungan SO2 yang dilepaskan ke atmosfer, sehingga tidak mencemari udara. Efektivitasnya mencapai 95%, sehingga SO2 yang dibuang melalui cerobong PLTU Tanjung Jati B hanya di kisaran 300 mg/Nm3 dari baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 550 mg/ Nm3.
Dengan penerapan teknologi FGD di PLTU Tanjung Jati B, PLN mampu memanfaatkan keunggulan keekonomian konversi energi fosil batubara sebagai penghasil energi listrik yang murah, namun tetap ramah bagi lingkungan. Dalam kontribusinya bagi kebutuhan listrik Jawa-Bali, PLTU Tanjung Jati B mampu menghasilkan listrik sebesar 4×660 MW atau sekitar 11%.
Dalam hal penanganan limbah pembakaran batubara, PLN Tanjung Jati B mengembangkan inovasi dalam memanfaatkan fly ash dan bottom ash (FABA). Selain dimanfaatkan sebagai bahan baku industri oleh produsen semen, FABA juga telah diolah menjadi batako, paving, dan beton pracetak.
Produk-produk tersebut telah digunakan untuk kegiatan Bedah Rumah Tidak Layak Huni sebagai program Corporate Social Responsibility (CSR) PLN di daerah Jepara. Dengan transformasi pemanfaatan FABA menjadi berbagai produk turunan, PLN berharap FABA dapat digunakan untuk menggantikan pasir dalam komposisi pembuatan beton, sehingga dapat mengurangi penambangan pasir yang merusak alam.
Dari segi ekonomi, FABA juga dapat menekan biaya pembuatan beton hingga 30%. Dari efisiensi tersebut, pemanfaatan FABA diharapkan akan meningkatkan laju pembangunan infrastruktur nasional.
Kini, di tengah pengembangan pembangkit EBT, PLN masih mempertahankan PLTU dengan teknologi terbarunya. Tentunya selain memiliki keunggulan keekonomian untuk menjaga tarif listrik yang terjangkau bagi masyarakat dan berdaya saing bagi investor, juga tetap ramah lingkungan.
Di sisi lain, dari inovasi pemanfaatan FABA, PLTU Tanjung Jati B telah membuka wacana baru bagi stakeholder industri konstruksi dalam pembuatan produk beton. Sehingga pemerintah dapat berhemat APBN hingga 30% dari pembangunan jalan tol, bendungan, dan pelabuhan.