Di zaman kejayaan medsos saat ini, kompetisi semakin terasa. Kemarin dulu mungkin persaingan di antara keturunan Adam hanya terasa di lingkungan terdekat. Yang prestasinya biasa-biasa saja, atau yang jabatannya tidak naik-naik pun tidak akan ketahuan oleh tetangga. Sekarang, lihat saja posting-an di timeline, rasanya semua orang bergerak maju, kreatif, dan istimewa. Dan yang pasti, seluruh dunia ikut menyaksikan.
Termasuk menyaksikan kaum yang terlihat biasa saja tanpa prestasi menonjol. Tanpa posting-an yang luar biasa maupun berbeda. Bagi sebagian orang, ini sangat menyedihkan. Seorang teman kantor membagi foto karyanya di Facebook: sayur mayur hidroponik yang terlihat begitu segar dengan warna hijau yang pekat, daun yang tebal dan lebar. Selada, bayam Brazil, sereh, begitu menyehatkan dan membanggakan.
Terlihat nyata di Facebook; wajahnya begitu cerah dan bahagia dengan hasil karyanya. Komentar, like, dan pujian datang bertubi-tubi, sekaligus menanyakan tips dan kunci suksesnya. Sepertinya dia menjawab setiap komentar sambil tersenyum. Hari itu sangat istimewa baginya. Merasa berguna bagi nusa dan bangsa.
Seorang teman saya yang lain memutuskan untuk meniru teman kami yang telah berhasil dengan minigarden-nya. Dia mempelajari dengan seksama cara menanam untuk pemula, dan sepertinya daun bawang adalah pilihan tepat –selalu dibutuhkan, mengurangi pengeluaran, dan modalnya sudah ada di dapur. Kalaupun gagal tidak terlalu nyesek, tidak seperti menanam monstera yang berjuta-juta harganya.
Terpilihlah daun bawang yang paling sehat dan batangnya besar untuk ditanam. Dua tiga hari berlalu, daun bawang tidak setegak dulu lagi. Makin lama makin lemah, seperti sudah berbulan-bulan sakit, lalu mati mengering. Salah tiga penyebabnya, kemungkinan perkara suhu, panas matahari yang over-dosis, dan tanah yang tidak ideal untuk menanam. Penyebab keempat, ya perkara orang yang menanam.
Mungkin mereka yang berhasil menanam memang punya bakat istimewa, apapun yang ditanam berhasil tumbuh sehat. Bertangan dingin. Sakti mandraguna. Teman saya ini menyimpulkan, ia bukan bagian dari mereka. Dia orang biasa yang perlu latihan menanam, jatuh bangun berlepotan tanah, padahal saat ini memang masih musim kering kemarau. Bisa saja ia membuat greenhouse, masalahnya satu, biaya produksinya jadi jauh lebih tinggi daripada daun bawang di supermarket.
Lagi pula, coba lihat sisi lain yang mungkin tidak tampak di timeline yang optimis cerah ceria itu. Kalau semua orang menanam sayur, lalu siapa yang belanja di tukang sayur? Hidup mereka sebelum pandemi sudah sulit dan akan makin sulit kalau semua orang menanam daun bawang, eh sayur di rumahnya. Dari sisi bagi-bagi rezeki, rasanya mereka yang bertahan membeli sayur justru lebih istimewa. Berbuat sesuatu untuk diri sendiri itu biasa, berbuat untuk kepentingan orang lain, luar biasa.
Hal lain yang sedang giat-giatnya dikampanyekan di medsos adalah belajar online. Seakan-akan dengan ikut kursus online, serta merta diri kita termasuk dalam kluster manusia utama: menggunakan waktu di rumah dengan efektif dan efisien. Mentereng. Hari-hari menjadi orang biasa lewat sudah, bersiap dengan identitas baru, sebagai makhluk pembelajar.
Seperti kawan saya yang mengikuti kelas online fotografi. Maksud hati ingin posting Instastory dengan foto-foto yang memukau. Kelas online ini menjanjikan kepraktisan dalam memotret objek secara paripurna, hanya dengan menggunakan HP, tidak perlu kamera SLR yang berat dan mahal. Biayanya bervariasi dan relatif murah; di salah satu kelas bahkan seratus ribu sudah bisa dapat kelas intensif seminggu.
Grupnya ramai, kebanyakan pemula, dipikirnya inilah jalan yang benar untuk belajar fotografi. Kawan satu ini tidak banyak bicara biasanya. Kali ini dia rajin bertanya, berdiskusi, dan mengamati hasil karya yang terpampang di grup, demi hasil maksimal. Setidaknya, untuk meneguhkan citra diri istimewa. Masih banyak temannya, termasuk saya, yang belum piawai motret.
Dilihatnya hasil karya fotografer profesional. Foto makanan yang ditata seperti berantakan saja tampak begitu nyeni sekaligus menggugah selera. Tempe goreng tepung dengan remahan tepung dan cabe rawit di atas talenan, sepertinya mudah, bahan dan peralatan pun ada. Apa sih susahnya?
Tiba saatnya memotret, satu jam berlalu, dan dia masih menata tempe, talenan, dan rawit sambil memegang HP. Tempe goreng tepung makin terlihat layu, lelah ditata sana sini, remahan tepung goreng tampak lebih mirip tumpahan daripada dekorasi. Cabe rawit pun lebih terkesan pedasnya daripada eksotisnya.
Termenung, menyadari rupanya dia tidak cukup istimewa di kelas fotografi. Biasa saja, kalau tak mau dibilang gagal. Karyanya lulus, tapi ya biasa saja, tidak pernah dipuji-puji di grup. Mereka yang menuai pujian setinggi langit memang bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendapatkan satu foto yang ciamik. Atau sudah pernah mengikuti kelas yang lain. Atau sudah melatih diri sejak lama. Sedangkan dia baru mencoba, jadi tentu saja belum istimewa hasilnya.
Statusnya masih ‘B’ alias biasa, seperti kata mbak mentor untuk objek yang kufoto: masuk, tapi B. Inikah namanya kurasi? Hehehe.
Kesamaan Nasib
Suatu ketika kedua kawan ini bertemu dan membahas nasibnya yang terlunta-lunta di jagad eksperimen. Karena kesamaan nasib, pun dengan saya yang bahkan belum mulai kelas online, kami sama-sama mencari peluang, hal apa yang bisa kita lakukan agar punya kemampuan yang istimewa. Walhasil, kami tertawa ngakak bersama, membaca komentar dan meme soal kegagalan dalam memasak yang sungguh menghibur hati.
Jejak digital kegagalan jamaah masakiyah menyebar viral. Lihatlah, niatnya cake klepon, jadinya malah seperti marble green cake hahaha. Gula jawa legit yang seharusnya berada di tengah klepon, merembes ke mana-mana. Ambyar. Malah ada yang hasilnya betul-betul seperti arang, padahal niatnya cake. Oven memang terkadang sangat kejam, tidak bisa membedakan adonan cake yang lembut dan manusia penuh maksiat, dibakarnya sampai habis. Itu sih neraka namanya.
Minuman pun jauh panggang dari api. Rencananya bikin Dalgona Coffee, jadinya malah seperti krim karamel gosong, pahit-pahit creamy. Akhirnya mereka kembali ke selera asal, kopi hitam bergambar kendaraan laut, untuk menenangkan hati yang gundah gulana karena dalgona.
Kombinasi antara pandemi dan medan magnet medsos membuat “look at me” behavior semakin menjadi-jadi. Lalu terbentuklah persepsi kolektif bahwa apa yang terlihat di medsos adalah representasi kualitas kita. Dan sungguh malang nasib kaum biasa saja ini. Lebay? Kenyataannya, tidak sedikit yang mengalami fear of being ordinary.
Naluri manusia untuk terpandang hebat dan istimewa memang sulit untuk dihilangkan. Belum lagi tekanan di grup-grup pertemanan dan keluarga. Acap obrolan nyerempet ke lubuk hati terdalam, dengan ajakan dengan nada minor cenderung sengak.
“Ayo, ikutan belajar fotografi, sayang kan HP bagus-bagus cuma dipakai wasapan.” Padahal HP harusnya dipakai untuk belajar daring anak-anaknya.
“Eh, cooking class bareng daripada diem di rumah.” Padahal yang diajak punya 4 anak, yang satu berkebutuhan khusus dan masih mengurus ibundanya yang sepuh.
“Buruan daftar kelas menulis online, siapa tahu tulisanmu bisa dimuat di media, lumayan buat nambah uang belanja.” Padahal yang diajak hampir tidak punya waktu untuk dirinya sendiri karena laris manis jualan gamis.
Mereka yang berpikir bahwa menjadi istimewa haruslah dengan karya luar biasa sepertinya harus lebih banyak membuka mata. Gagal total ketika masak yang hebat-hebat, tapi masakannya yang biasa itu seringkali membahagiakan tetangga kanan-kirinya. Mereka yang hasil jepretannya biasa saja, mungkin terlatih menangkap momen spesial anak-anaknya, meski dengan teknik sederhana, merekam lalu mengirim ke eyangnya anak-anak di kampung. Mereka yang tulisannya biasa saja dan banyak revisi dari mentornya, mungkin sangat terbiasa mencatat isi kajian di masjid, yang kemudian di-“posting” di meja makan keluarga.
Tidak ada orang yang bercita-cita ingin menjadi orang yang biasa-biasa saja. Menjadi biasa saja kadang begitu menakutkan bagi sebagian orang — tak terlihat, tak terpandang, tak dianggap. Coba tanya anak-anak, cita-cita mereka biasanya ingin jadi superhero atau princess. Besar dikit ingin jadi selebriti, chef handal atau youtuber. Semua orang ingin menjadi yang terpandang, terhormat, terkenal, teristimewa, dan “ter” lainnya.
Padahal, di luar jamaah kluster istimewa ini kaum yang biasa saja sudah membuktikan kedigdayaannya. Betapa banyak keluarga yang terselamatkan dari hempasan PHK “hanya” dengan menjual sayuran dan gorengan di depan rumahnya. Betapa banyak keluarga yang terselamatkan dari badai narkoba anak-anaknya bukan dengan bicara di depan publik, melainkan “hanya” memeluk erat mendekap anak-anaknya dengan kekuatan doa dan akal budi.
Mereka tampak biasa saja dari jauh. Mereka tampak istimewa dari dekat.
Ade W. Wulandari ibu empat anak, tinggal di Muscat